PAPUA INDAH DAN DAMAI

Menyuarakan kedamaian dan keindahan bumi Papua untuk bangsa ini...

Halaman

Selasa, 07 Oktober 2014

ASING DI PAPUA

gambar: ilustrasi
DETEKSI-Dua wartawan berkebangsaan Perancis, Thomas Dandois (40), dan Valentine Bourrat (29) ditangkap oleh aparat Polda Papua pada 06 Agustus 2014 di Wamena. Bahkan kantor Imigrasi Jayapura sudah menetapkan status tersangka kepada keduanya atas dugaan pelanggaran dokumen keimigrasian.

Spekulasi terkait keterlibatan terhadap OPM-pun mencuat. Sebagaimana dikutip dari Antara, indikasi keterlibatan kedua wartawan Perancis, yakni Thomas Charles Dandois dan Louise Marie Valentina Bourrat yang bekerja di Arte TV Perancis itu terungkap dari hasil liputannya yang terekam dalam handycam yang mereka bawa. Wakil Kapolda Papua, Brigjen Pol Paulus Waterpauw, mengatakan dari hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap kedua wartawan yang saat ini ditahan Imigrasi Jayapura, keduanya melakukan peliputan dan bertemu sejumlah kelompok bersenjata, baik yang ada di Jayapura maupun di Wamena. Bahkan, kata Brigjen Waterpauw, kedua jurnalis asing itu juga bertemu dengan mantan narapidana kasus makar, yakni Forkorus Yoboisembut yang juga menjabat Ketua Dewan Adat Papua (DAP). Forkorus dihukum terkait kasus makar tahun 2011 dan baru menghirup kebebasan 21 Juli 2014 lalu.

Pasca penangkapan dan penahanan, reaksi terus bermunculan. Kelompok pembela wartawan, Reporters Without Borders, RWP telah mengecam penangkapan dua orang jurnalis tersebut dan menuntut agar mereka segera dibebaskan. Menurut RWP, Thomas Dandois sebagai wartawan memiliki “integritas dan kejujuran”. Dia juga pernah ditahan di Nigeria pada 2007 karena meliput aktivitas kelompok separatis Tuareg. Dandois dikenal pula sebagai wartawan yang pernah meliput di wilayah konflik seperti Somalia, Burma, Kosovo, Darfur, dan jalur Gaza.

Sementara itu anggota Dewan Pers, Nezar Patria mengatakan, pihaknya telah dihubungi Kedutaan Prancis di Jakarta dan RWP yang menyatakan bahwa dua orang itu adalah wartawan. 

“Kita juga sudah mengirim surat untuk meneruskan pemberitahuan dari Kedutaan Prancis, RWP dan juga dari kantor mereka bekerja, yang menyatakan keduanya adalah jurnalis,” kata Nezar Patria sebagaimana dikutip dari BBC.

Dewan Pers, menurut Nezar, juga menuntut agar mereka segera dibebaskan. “Dan kalau ada pelanggaran UU Keimigrasian, sebaiknya dia dipulangkan dan tidak ditahan,” katanya. Sejumlah kasus kekerasan kembali muncul di Papua belakangan ini, yang korbannya meliputi pihak sipil, anggota polisi dan TNI serta kelompok separatis bersenjata.

Kasus penangkapan wartawan asing di Papua juga bukan kali pertama. Dalam catatan Kementerian Luar Negeri, sampai tahun 2012, ada 35 jurnalis asing yang telah diberikan akses ke provinsi Papua sepanjang tahun 2011-2012. Namun para jurnalis asing ini memahami bahwa tidak semua jurnalis bisa melakukan liputan di Papua. Bahkan tercatat, 7 (tujuh) jurnalis asing telah dideportasi dari Papua karena dilarang melakukan kerja jurnalistik. Terakhir, jurnalis ABC harus masuk ke Papua dengan cara menyamar sebagai turis. Selain itu, sebagai catatan lain adalah kasus ditangkapnya dan dideportasinya dua wartawan TV A Mano Perancis, Baudoin Koenlag dan Carole Helene Lorthtois pada 25 Mei 2010, ketika sedang meliput aksi unjuk rasa aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di depan Gedung DPR Papua. Bahkan dalam pemeriksaan diketahui bahwa kedua jurnalis asing tersebut mengambil gambar unjuk rasa, untuk keperluan pembuatan film tentang Indonesia yang berjudul Indonesia Hari Esok. Penangkapan dua wartawan tersebut dilakukan karena terbukti melakukan pelanggaran izin bekerja. Kepala Imigrasi Jayapura Robert Silitonga menyatakan, bahwa dari hasil pemeriksaan sementara terungkap, yang memiliki izin peliputan hanya Baudoin Koeniag. dengan wilayah liputannya antara lain Aceh. Jakarta, Bali. Gorontalo, dan Sorong, sedangkan Jayapura tidak termasuk daerah liputannya.

Modus masuknya para jurnalis asing ke Papua adalah dengan mengunakan visa kunjungan sebagai turis. Bahkan berdasarkan pada pemeriksaan diketahui sebagian di antara mereka yang dedeportasi diketahui mengunakan paspor ganda.

Beragam fakta tersebut, mengungkapkan indikasi kuat keterlibatan pihak asing dalam mendukung OPM. Meskipun dengan dalih peliputan dan kerja-kerja jurnalistik, namun fakta bahwa hasil kerja jurnalistik mereka seringkali menjadi alat propaganda dan kampanye atas kemerdekaan Papua di dunia internasional.

Mencermati hal tersebut, maka keberadaan jurnalis asing di Papua, harus tetap dibatasi demi stabilitas keamanan nasional, termasuk dalam rangka menghindari terjadinya beragam bentuk dan modus spionase asing. Selain itu, keberadaan jurnalis asing, (1)Keberadaan jurnalis asing sangat berpotensi menjadi bagian dari propaganda kelompok OPM di tingkat internasional, (2) Tidak ada yang bisa menjamin keselamatan dan keamanan jurnalis asing di Papua terkait dengan kegiatan jurnalismenya di Papua.

Dengan demikian, kita patut mewaspadai adanya kepentingan tertentu di balik kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh para jurnalis asing yang dapat merugikan pemerintah RI. Tidak menutup kemungkinan, mereka melakukan pelanggaran ijin jurnalistik tersebut, untuk menjual isu-isu Papua di forum dunia internasional, yang secara tidak langsung bisa dikatakan ikut mendukung propaganda OPM.

Sumber: deteksi.co

0 komentar:

Posting Komentar