PAPUA INDAH DAN DAMAI

Menyuarakan kedamaian dan keindahan bumi Papua untuk bangsa ini...

Tanahku Papua

Papua, Indonesia kecilku...

Jayapura City

...ibukota Papua yang memikat di malam hari...

Festival Lembah Baliem

budaya luhur suku Dani, Lani, dan Yali sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan

Cenderawasih

burung khas Papua sebagai 'bird of Paradise'

Tawa Papua

potret dari keceriaan anak-anak di Papua

Raja Ampat

gugusan pulau yang indah dan exotic

Halaman

Rabu, 16 April 2014

INTERNASIONALISASI MASALAH PAPUA TIDAK AKAN LAKU

Parlemen Eropa (PE)
Sejumlah organisasi di Papua dan Papua Barat tampaknya terus menerus melakukan manuver politiknya untuk menginternasionalisasi masalah Papua dengan menjadikan isu pelanggaran HAM di Papua Barat dan Papua sebagai isu sentralnya, walaupun konon kalangan aktivis Papua ini juga tidak dapat memberikan bukti-bukti yang kuat telah terjadi pelanggaran HAM.

Bahkan, ada rumors di antara kalangan aktivis Papua sebenarnya sudah mengetahui jika Parlemen Eropa (PE) menaruh concern atas permasalahan di Papua dan Papua Barat, terutama kasus pelanggaran HAM-nya sebab Baroness Catherine Ashton (High Representative of the Union for Foreign Affairs and Security Policy) juga sudah mengetahuinya.

Namun anehnya salah seorang anggota PE menyatakan masukan atau ocehan anggota PE ke Baroness Catherine Ashton tidak memiliki dampak politik karena masukan sejenis banyak dilayangkan oleh anggota PE dan Comprehensive and Partnership Cooperation Agreement (PCA), karena PE menjamin secara hukum NKRI.

Tidak hanya itu saja, anggota PE ini juga mengakui saat reses di Parlemen Eropa (PE) dia cuti di daerah yang tidak terjangkau internet, namun mendapatkan informasi jika anggota PE lainnya mendapatkan tekanan dari NGO asal dua negara Eropa Barat untuk mengeluarkan surat tersebut, bahkan surat tersebut sudah dibuat oleh LSM tersebut dan bukan dari kantor salah seorang anggota PE.

Bahkan, anggota PE ini menyatakan bahwa dirinya tidak melakukan konsultasi terlebih dahulu, karena surat tersebut berisi fakta yang ngawur dan tidak sesuai dengan semangat PCA. “Surat tersebut telah memberikan ruang kepada OPM untuk memutarbalikkan situasi di lapangan, karena memberi kesan bahwa PE sebagai suatu kesatuan institusi mendukung dialog yang mengarah kepada referendum. Namun, PE tidak sama sekali menyetujui referendum di Papua dan Papua Barat,” ujarnya.

Menurut Ana Gomes dan Sir Graham Watson di beberapa media massa nasional dan internasional yang mengutip pernyataannya bahwa posisi Uni Eropa atas isu Papua dalam berbagai kesempatan tetap sama yaitu mendukung keutuhan NKRI, isu HAM dibicarakan dalam dialog HAM antara Indonesia-Uni Eropa serta dialog di Indonesia adalah dialog demi kesejahteraan rakyat Papua dalam kerangka NKRI.

Dari pernyataan tersebut, nampak jelas bahwa Parlemen Eropa dan Uni Eropa memandangkan masalah internasionalisasi Papua yang diperjuangkan sekelompok sangat kecil di Papua dan Papua Barat yang didukung beberapa kelompok kepentingan di Jakarta, ternyata tidak perlu ditanggapi karena upaya internasionalisasi tersebut berpotensi merusak Comprehensive and Partnership Cooperation Agreement (PCA) antara Indonesia dengan Uni Eropa.

Sebagai informasi dan untuk diketahui oleh Parlemen Eropa bahwa kelompok TPN-OPM terus melakukan aksi kekerasan bersenjata untuk menunjukkan eksistensinya, seperti kejadian tanggal 5 April 2014 di perbatasan RI-PNG Skow-Wutung, Papua, sekitar 40 anggota kelompok bersenjata melakukan penutupan akses jalan dan pengibaran bendera Bintang Kejora. Dalam kaitan ini, aparat keamanan yang berupaya menurunkan bendera Bintang Kejora terlibat kontak tembak, menewaskan 2 anggota kelompok bersenjata dan 2 aparat terluka.

Sebelumnya pada 3 April 2014 di Sentani, Kabupaten Jayapura, Markas Komando Pusat Tentara Revolusi Papua Barat (TRWP) mengeluarkan perintah operasi yang ditandatangani Mathias Wenda (Panglima Tertinggi TRWP) untuk mengganggu pelaksanaan Pemilu di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Keerom, dan kawasan perbatasan RI-PNG.

TRWP bersama anggota militan KNPB juga akan menyerang pos-pos TNI/Polri di perbatasan RI-PNG Wutung, Koya (Distrik Muara Tami), Arso (Kabupaten Keerom), Abepura, Waena, Kotaraja-Entrop-Jayapura sekitarnya, Sentani-Doyo-Sabron (Kabupaten Jayapura), Taja dan Juk Lereh (perkebunan kelapa sawit milik salah satu perusahaan nasional). Sementara itu, West Papua National Coalition for Liberation Front mengeluarkan seruan kepada masyarakat Papua untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2014.

Sementara itu, di Pos Polisi perbatasan RI-PNG Skouw, Papua, terjadi gangguan keamanan yang dilakukan kelompok sipil bersenjata ke arah Pos Polisi, tidak ada korban jiwa dan materil dalam insinden tersebut. Tanggal 8 April 2014 di Sentani, Papua, terjadi aksi teror kepada warga berupa isu akan adanya penyerangan yang dilakukan OTK menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif 9 April 2014 sehingga mengakibatkan keresahan warga yang tinggal di kawasan Kampung SP-V, Distrik Yapsi, Kabupaten Jayapura.

Parlemen Eropa Hormati Kedaulatan Indonesia

Dalam masa sidang pleno awal Maret 2014, Parlemen Eropa telah meratifikasi perjanjian Framework Agreement on Comprehensive Partnership and Cooperation Between the Republic of Indonesia, on the one part and the European Community and its Member States, of the other part (Comprehensive and Partnership Cooperation Agreement-PCA-RI-Uni Eropa) tahun 2009. PCA RI-Uni Eropa sudah diratifikasi 27 negara anggota Uni Eropa (UE).

PCA RI-UE merupakan perjanjian payung yang mengatur kerjasama dan kemitraan secara komprehensif, mendalam dan rinci antara RI-UE. Hubungan Indonesia-UE pasca PCA akan diwarnai oleh pengembangan hubungan yang lebih melembaga dan mencakup bidang kerjasama yang luas termasuk bidang politik, keamanan, counter terrorism, ekonomi, perdagangan, investasi, pendidikan, sosial budaya serta berbagai bidang strategis yang menjadi kepentingan bersama RI-UE.

PCA RI-UE merupakan dokumen yang secara hukum mengikat bagi kedua belah pihak. Dokumen juga mengatur penegasan dukungan UE baik negara anggota maupun semua lembaga UE seperti Komisi Eropa dan Parlemen Eropa, terhadap kedaulatan dan integritas wilayah NKRI. Dukungan penghormatan kedaulatan dan integritas wilayah RI oleh Eropa adalah suatu kewajiban hukum. Uni Eropa juga terikat secara hukum untuk tidak mendukung gerakan separatis Indonesia dalam bentuk apapun juga.

Upaya-upaya kelompok separatis untuk membuat kantor di negara-negara UE seperti yang dilakukan Benny Wenda di Oxford Inggris adalah suatu hal yang bertentangan dengan kewajiban hukum PCA RI-UE dan hukum internasional, sehingga negara-negara UE yang terikat hukum akan melakukan tindakan dan mencegahnya.

Sir Graham Watson dan Ana Gomes bahkan sama-sama menyatakan Parlemen Eropa senantiasa mendukung keutuhan NKRI, mendorong agar ada pemajuan dan perlindungan HAM serta masalah kesejahteraan di Papua Barat dapat diselesaikan melalui dialog nasional diantara para pemangku kepentingan di Indonesia dalam kerangka NKRI.

Oleh karena itu, sejatinya upaya internasionalisasi masalah HAM Papua tidak akan laku sama sekali, bahkan mereka yang memperjuangkan “kemerdekaan” Papua sekalipun perlu mempelajari masalah referendum, karena ada kesalahan konyol di pemikiran mereka bahwa referedum dilaksanakan untuk memerdekakan Papua, sebab dalam perspektif Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ternyata referendum bukan untuk separatisme, melainkan dialog dalam kerangka negara yang menggelar referendum tersebut.

Sekali lagi, masyarakat di Papua dan Papua Barat sebaiknya mendukung upaya-upaya memajukan wilayahnya melalui otonomi khusus dan berbagai program pemerintah lainnya, termasuk mendukung sepenuhnya pelaksanaan Pemilu Presiden secara damai di Papua dan Papua Barat, serta sebaiknya masyarakat Papua dan Papua Barat memilih calon presiden yang dapat menyelesaikan permasalahannya, menjaga martabat Indonesia dan tidak sekedar berani mengeluarkan kebijakan yang populis semata. Pemimpin Indonesia ke depan yang diperlukan Papua dan Papua Barat adalah yang tegas, berani dan mampu menjaga integritas Papua bersama NKRI. Semoga.

*) Penulis adalah Toni Sudibyo, peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI), Jakarta.

Rabu, 09 April 2014

PM VANUATU CAMPURI KEDAULATAN RI, TOKOH PAPUA BERANG

Nick Messet
Tokoh Papua, Nicholas Messet, mantan Wamenlu OPM, red

Jayapura - Tak dapat dipungkiri di tanah Papua terjadi banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di era Orde Baru. Tapi kalau ‘hari gini’ masih saja ada tuduhan dari pejabat luar negeri yang menyebut masih banyak pelanggaran HAM di bumi Cenderawasih, tentu akan jadi persoalan besar bagi tokoh Papua sekali pun.

Adalah Nicholas Messet, Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang marah besar terhadap pidato Perdana Menteri (PM) Vanuatu, Moana Carcasses Kalosil pada Sidang Tahunan Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB) di Jenewa Swiss pada 4 Maret 2014 lalu.

Saat itu, Moana menyebut di Papua hingga kini masih banyak terjadi pelanggaran HAM berat. Sebagai tokoh Papua, Nicholas Messet merasa tersengat kupingnya mendengar pidato asal ucap itu.

“Pidato PM Vanuatu tersebut tidak berdasar, serta mengandung unsur politis terselubung,” tegasnya dalam keterangan pers di Hotel Kaisar, Jakarta Selatan, Rabu (26/3/2014).

Nickolas Messet juga menyebut pernyataan PM Vanuatu itu adalah bohong besar. Sebab bukti foto yang beredar di internet yang dikeluarkan oleh PM Vanuatu pada sidang di Jenewa itu adalah foto tahun 1970-an, tapi direkayasa seolah-olah itu kondisi terkini di Papua.

“Dia bilang terjadi pelanggaran HAM setiap hari di Papua. Padahal itu foto-foto lama tahun 1970-an,” sesalnya.

Setelah era reformasi bergulir, ditandai dengan tumbangnya rezim otoriter Orde Baru tahun 1998, tanah Papua jauh lebih baik. Menurut Nicholas Messet, saat ini Papua sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dan perkembangan infrastruktur yang baik, termasuk untuk bidang penegakan hukum.

“Memang kita tidak menyangkal, benar ada pelanggaran HAM di tahun-tahun 1970-an dari Aceh sampai Papua. Ada pelanggaran HAM besar-besaran di saat orde baru memerintah. Tapi sejak tanggal 21 Mei 1998, turunnya Soeharto, pelanggaran HAM sudah tidak ada lagi” tegasnya.

Nicholas Messet mengingatkan, PM Vanuatu adalah perdana menteri dari sebuah negeri kecil yang seharusnya tidak sembrono menuduh.

Berikut Ini tanya jawab dengan mantan Wakil Menlu OPM Nicholas Messet, terkait Pidato PM Vanuatu di Jenewa, 4 Maret 2014:

Apa latar belakang PM Vanuatu sehingga dia melontarkan tuduhan masih banyak pelanggaran HAM berat di Papua sampai sekarang?

PM Vanuatu itu orang Perancis tapi sudah naturalisasi, umurnya 51 tahun lahir 27 januari 1963. Saya kerja di Vanuatu jadi pilot dia umur 27 tahun. Mungkin dia sekarang banyak terima pesan/sms dari masyarakat Papua terkait pernyataannya bahwa banyak pelanggaran HAM di Papua sampai hari ini.

Sebetulnya tidak ada pelanggaran HAM seperti yang dituduhkan dia. 19 Juni 2013 saat rapat MSG di New Caledonia saya bertemu beliau dan katakan pada dia malah saya tunjuk mukanya, “Kamu jangan bicara Papua, bicara Vanuatu saja, kewajiban kamu itu rakyat Vanuatu, bukan perdana menteri orang Papua. Papua itu milik Indonesia dan sekarang ini Papua tidak bisa dipisahkan dari Indonesia."

Mengenai dia bilang ada pelanggaran HAM setiap hari di Papua, saya bilang kalau ada pelanggaran HAM, saya, Michael, Frans mungkin sudah tidak ada lagi disini, kita sudah dibunuh.

Dan kau lihat baik foto-foto yang dikasih di internet kepada saudara perdana mentri, itu foto tahun 70-an, memang kita tidak menyangkal, bahwa benar ada pelanggaran HAM tahun tahun itu, bukan hanya Papua di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Papua ada pelanggaran HAM besar-besaran di saat Orde Baru memerintah.

Tapi sejak tanggal 21 Mei 1998 turunnya Soeharto dan diambil alih wakil presiden Habibie maka reformasi mulai bergulir, demokratisasi mulai bergulir bahkan ada perubahan besar sekali di Republik Indonesia ini sampai sekarang ini. Pada 9 April 2014 kita mengadakan pemilu yang demokratis. Jadi kalau ada PM dari negara kecil yang bilang ada pelanggaran HAM itu sama sekali bohong, bohong belaka yang mau mengungkit-ungkit masalah lalu.

Apa fakta yang Anda lihat di Papua sekarang?

Sebenarnya republik sudah aman dan tenteram bagi kita dan orang Papua sudah mulai sadar bahwa perjuangan mereka itu bukan merdeka, tapi lebih mementingkan hak-hak adat mereka atau hak-hak leluhur mereka, tanah, kekayaan alam itu harus dibagi rata kepada orang Papua supaya mereka rasa mereka adalah bagian dari republik ini.

Kalau tidak, selalu ada gembar-gembor di sini ada pelanggaran HAM atau pembunuhan massal atau genocide dipakai oleh orang-orang macam negara Vanuatu, satu-satunya negara di dunia ini yang mau membantu Papua merdeka dan Vanuatu itu merdeka tanggal 31 Juni 1980, jadi baru 34 tahun, masih muda dibanding negara kita yang sudah 69 tahun.

PM Vanuatu melihat masalah Papua harus diselesaikan tapi masalah Papua sudah diselesaikan sejak Pepera dilaksanakan tahun 1969 dan saya sendiri saksikan waktu duta besar Vanuatu, waktu saya kerja di Vanuatu, saya ke markas besar PBB , di dalam sidang keamanan, beliau mengatakan, inilah keputusan Dewan Keamanan tanggal 19 November 1969, nasib orang Papua atau waktu itu orang Irian diputuskan oleh Dewan Keamanan. Kalau orang Papua mau coba kembalikan masalah Pepera melalui Dewan keamanan PBB, itu imposible, tidak mungkin.

Dan sekarang PBB tidak mikir kasih merdekakan negara- negara kecil. Yang sekarang PBB pikirkan penyakit Aids, kekurangan makanan, Global Environtmen, semua itu yang dipikir. Bukan memerdekakan negara kecil.

Malah negara kecil mau gabung dengan negara besar karena perekonomian. Jadi kita orang Papua mau pikir merdeka, itu susah. Saya berjuang betul, dari umur 23 tahun saya sudah keluar dan saya warga negara Swedia sebelum saya kembali ke republik ini. Kawan saya Hasan Tiro almarhum, Gubernur Aceh sekarang, sama-sama kita di Swedia dan mereka dari GAM, kita dari OPM, sama-sama hidup di Swedia.

Nyatanya dia jadi gubernur Aceh, dan saya sama pak Frans kembali. Kita mau kembali untuk membangun republik ini, tidak melihat ada masa depan untuk Aceh merdeka atau Papua merdeka.

Dan kalau dilihat dari sejarah, Papua sudah masuk dari tahun 1827 sudah masuk Hindia Belanda. Kalau ada orang yang bilang, oh itu tidak, baru masuk tahun 1969, nggak, itu sejarah sudah buktikan bahwa tanggal 24 Agustus 1827, 100 tahun sebelum sumpah pemuda, Papua sudah masuk dalam republik ini.

Jadi kalau ada yang bilang Pepera itu belum selesai, anak-anak muda yang sekarang tidak belajar, pertanyaan saya kepada anak muda ini, kalau besok merdeka, mereka mau bikin apa, mau jadi apa.

Saya bilang pada mereka belajar baik jadi orang yang berguna bagi bangsa. Republik ini besar dari Sabang sampai Merauke, kamu bisa dipakai di mana saja. Di era globalisasi ini kamu bisa dipakai di Amerika asal pintar. Buktikan bahwa kamu orang Indonesia bisa dipakai di seluruh dunia, apakah kamu dari Papua, Ambon, Aceh, Jawa, Kalimantan, terserah.

Tapi jangan pikir untuk merdeka. Merdeka itu buat saya imposible. Saya ini berjuang sampai sudah tidak ada jalan keluar. Tuhan bilang kembali kepada akar. Asal saya itu Papua, sama-sama republik, republik yang besar. Karena kalau besok kita merdeka, Papua terpisah, kita mau pikir mau masuk mana, Asean atau G-20.

Sekarang negara-negara kecil di Pasifik pikir ke situ, Papua Nugini, Vanuatu, dulu mereka lihat Australia, sekarang ini mereka lihat ke Indonesia. Dan wartawan harus tahu bahwa Melanesia yang terdiri dari Papua Nugini, Solomon, Vanuatu, New Caledonia, Fiji. Lima (5) negara Melanesia ini, 3 negara yang sudah kita rangkul yaitu PNG, Fiji, tinggal Vanuatu negara kecil yang penduduknya hanya 250 ribu orang, itu seluruh penduduk Jayapura, Fiji paling 600 ribu orang, PNG 6 juta, Solomon 500 ribu orang, Kanaki 300 orang. Jadi kalau mau tahu penduduk Indonesia, Melanesia itu ada 5 provinsi. Papua, Ambon, NTT, NTB, semua rumpun Melanesia, semuanya 11,5 juta dibanding dengan cuma berapa juta di PNG, Solomon, Vanuatu, New Caledonia dan Fiji. Jadi kalau mau lihat kita di sini, rumpun Melanesia di Indonesia lebih banyak daripada negara-negara yang sudah merdeka itu.

Jadi saudara-saudara itu harus pikir bahwa saudara kita rumpun Melanesia meski orang Indonesia harus gabung dengan mereka, Di situ bisa lihat, Vanuatu sendiri tidak mau mengakui bahwa kita ini Indonesia. Kita ini Indonesia tapi rumpun Melanesia itu beda. Jadi saya pikir apa yang dikatakan oleh bapak PM Vanuatu di sidang HAM PBB di Jenewa, itu cerita lama, cerita lama yang mau membuka mata dunia. Tapi mata dunia sudah tidak bodoh, tidak duduk diam dengar saja.

Mereka tahu bahwa Papua sudah berubah dari dulu yang dibilang pembunuhan banyak sekarang tidak. Bahkan orang papua pikir untuk membangun supaya bisa sama dengan provinsi lain di Indonesia. Hanya sekarang ada sporadic anak-anak muda yang pikir harus merdeka. Mereka tidak tahu bahwa merdeka itu susah. Menjalankan satu pemerintahan, satu negara itu tidak mudah. Saya melihat sendiri kemerdekaan.

Apa pengalaman masa lalu Anda yang membentuk pola pikir seperti sekarang?

Saya tamat pilot tahun 1975 dari Australia dan saya bekerja di negara …itu susah sekali. Saya dipanggil PM Vanuatu yang pertama dan PM yang sekarang waktu itu baru 20an tahun saya sudah 40an tahun dan anak muda ini tanggal 31 Juni tahun lalu hadir di kemerdekaan Vanuatu bersama pak Frans, kita pergi bicara sama dia, saya bilang, PM saya ingin anda datang ke Indonesia ke Papua.

Dia bilang, “wah kalau saya ke sana, nanti saya ditangkap,” saya jawab, anda seorang PM bagaimana mau ditangkap dah ditahan oleh Republik Indonesia? Datang dan lihat sendiri supaya bicara fakta jangan dengar dari orang bahwa Papua begini, begitu. Lihat sendiri apa yang terjadi di Papua tapi dia tidak berani, itu tanggal 31 Juni 2013. Di rumah kediaman Gubernur Jenderal, kami hadir di resepsi di sana, di Vanuatu, saya bicara langsung dengan PM Vanuatu disaksikan wakil PM dan menlu.

Kepentingannya apa yang Anda lihat, Vanuatu bicara seperti itu?

Kalau menurut saya sejak saya di sana, saya lihat negara ini mau dapat nama juga bahwa dia bisa memerdekaan negara lain, negara Melanesia, itu saja. Artinya mau memerdekakan Papua supaya dia ada nama di dunia.

Dunia akan bilang wah negara kecil yang 250 ribu orang bisa mengalahkan negara besar yang 250 juta orang, memerdekaan satu propinsi dari negara yanag berpenduduk 250 juta orang, itu saja keinginannya.

Dan dia bilang itu statemen dari almarhum PM. bahwa Vanuatu tidak merdeka atau Melanesia tidak merdeka bila negara Melanesia lain termasuk Papua, Papua barat dan Kanaki belum merdeka. Tapi dia tidak tahu bahwa Melanesia di Indonesia termasuk Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB. Statemen itu keliru. Saya berani pergi bicara sama PM Vanuatu, saya tidak takut, saya hanya takut kepada Tuhan, saya akan berbicara kebenaran. 

Ada saudara kita di Vanuatu, Andi, kawan saya sekolah gabungan tahun 1966, dia manager Black Brothers, band yang terkenal tahun 60an, melarikan diri tahun 1979 ke Belanda dan terus ke Vanuatu dan menetap di sana. 

Saya lari keluar ke Swedia dan mereka ditahan. Mereka ditahan oleh kelompok Lini dimasukkan dalam penjara dideportasi ke Australia. Sekarang black brothers semua kembali ke Italia … Kepala West Papua National Congres for liberation (WPNCL).

Itu ketuanya pak Andi Ayammi Seba tapi wakil ketuanya dr Jono. Mereka dua selalu kasih masukan kepada perdana menteri. Dan PM ini PM yang muda dan selalu menentang okupasi tanda kutip Indonesia pada Papua. Karena begitu banyak jadi mereka itu. Saya pernah bicara dan Tripartit di New Zealand mengenai nasib orang Papua. Mereka itu benar-benar menentang pemerintah Indonesia menduduki tanah Papua.

PM Vanuatu
WPNCL ini terdiri dari banyak faksi?
Oh faksi banyak faksi. Perjuangan Papua ini terdiri dari banyak faksi di Belanda ada beberapa, di Swedia dipimpin bapak Jacob. Saya bersama pak Jacob dideportasi dari Papua Nugini tahun 1979, kita 5 orang yang pergi. WPNCL ini banyak didengar karena kerjasama dengan Vanuatu. PNG, Fiji dan Solomon tidak terpengaruh.

Malah kemarin waktu PM Vanuatu bikin komentar di Jenewa, PM Solomon bilang masalah Papua sudah selesai. Papua Issue tidak ada lagi. Papua adalah bagian dari Indonesia, itu saja. Jadi dia menentang apa yang dikatakan PM Vanuatu. Lebih baik mereka yang bicara, PM Solomon pernah datang ke sini berkunjung tahun lalu, bulan Juni bertemu presiden. Sekarang dia memihak kepada kita, dulu memang anti, keras sekali.

WPNCL punya massa juga?

Iya punya massa tapi waktu MSG di New Caledonia menentukan bahwa dari 5 negara Melanesia harus kirim mentri luar negerinya untuk lihat Papua. Bulan januari baru baru, mereka datang tapi Vanuaatu boikot tidak mau. Menlu PNG datang, Fiji datang, Solomon datang, Wakil Menlu Kanaki datang.

Vanuatu tidak kirim dan mereka pergi. Saya dan pak Frans antar sampai di Papua dan mereka lihat sendiri dan bilang pembangunan di Papua beda, jauh sekali dengan negara-negara kecil di Melanesia macam di Solomon, Vanuatu, Kanaki. Bahkan Fiji mengakui bahwa kemajuan di Papua lebih besar dari negara-negara yang sudah merdeka di Pasifik Selatan.Mereka datang tanggal 10 – 11 Januari ini, menginap dan pergi.

Saya dan pak Frans yang dulu menentang Indonesia, bagaimana perubahan besar dan itu dikonfirmasi oleh Menlu Fiji yang juga ketua delegasi menlu yang datang berkunjung ke sini. Kita diundang oleh beliau untuk kasih lecture di Universitas Fiji dan mahasiswa semua baru dapat keterangan yang baik, bagaimana Papua sekarang ini, karena banyak simpang siur pemberitaan tentang Papua. Jadi Papua kacau.

Tapi setelah menlu-menlu PNG, Fiji, Solomon, New Caledonia melihat sendiri mereka bilang Papua maju pesat. Dan kita mau pemerintah Vanuatu kirim menlunya atau anggota parlemennya datang untuk melihat sendiri pembangunan di Papua dan pulang kasih tahu sama PMnya jangan hanya omong karena ada sms/internet yang ada foto tahun 70-an, itu semua omong kosong.

Saya bilang, perdana menteri kau lihat foto itu baik-baik. Foto itu sama saja setiap hari. Kau mesti lihat benar foto itu. Saya pernah buat propaganda macam itu, dulu. Jadi jangan taken for granted. Kalau setiap hari tentara Indonesia bunuh 10 orang berarti 10 tahun, semua orang Papua dibunuh, berarti tidak ada orang Papua. Itu tidak masuk akal buat saya. Untuk itu kirim mentri atau datang sendiri lihat Papua.

Tapi sebesar apa dia berteriak seperti yang saya bilang, 250 ribu tinggal kasih duit aja akan diam. Dia perlu makanan dan bantuan. Saya bilang kalau ada kekurangan apa-apa, negara saya bisa bantu kamu. Jangan bicara soal Papua. Papua punya penduduk 2,5 juta kamu 250 ribu. Jangan bikin Papua jadi isu komoditas untuk kamu. Dia mau dibilang negara kecil hebat bisa kalahkan negara besar di Asia.

Dan mereka pakai Papua jadi komoditas di Vanuatu, isu Papua merdeka untuk jadi anggota parlemen.Tapi tugas saya dan masyarakat Papua bilang ke mereka bahwa masalah Papua bukan masalah kamu. Masalah Papua adalah masalah Indonesia. Masalah Vanuatu bagaiamana kamu bisa dapat kerja dan pembangunan negeri kamu.

Kalau tidak kamu tidak tahu akan ke mana dan jadi macam apa. Solomon sekarang negara gagal dan diduduki oleh Australia, tahun lalu baru dibicarakan kembali bagaimana Solomon kembali berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Saya lihat Vanuatu harus hati-hati jangan jadi negara gagal. 1-2 bulan yang lalu ada mosi tidak percaya pada PM sekarang, anak muda kelahiran Perancis, bapaknya orang Perancis, mamanya orang Haiti pindah dari Perancis ke Vanuatu karena bapaknya beli plantasi di sana, plantasi coconut.

Jadi anak ini dididik dari bapaknya yang jual kopra, sekarang anaknya jadi PM dan bilang mau lepaskan Papua. Lebih baik dia urus kelapa di sana daripada urus Papua. Itu saran saya kepada dia.

Kalau dari perekonomian, Anda lihat Papua sudah cukup bagus?

Belum cukup karena kembali pada otonomi khusus, kembali pada masyarakat Papua sendiri. Pemimpin Papua sendiri yang harus sadar bagaimana mempergunakan uang itu, uang yang begitu banyak.

Uang itu dipergunakan gubernur, walikota, bupati, DPR, sementara masyarakat bawah tidak merasakan apa itu otsus. Contoh, di kampung saya saja orang di kampung bilang, waktu Jakarta msih pegang duit, kita bisa makan ampas-ampas yang jatuh. Sekarang ini orang Papua pegang sendiri sampai ampas di meja mereka jilat dan semuaa habis. Jadi tidak terbagikan kepada rakyat di bawah.

Sedih saya. Mereka kata, Papua tipu Papua. Bupati hanya janji bangun jalan tapi untuk ke Jakarta satu bupati bisa bawa uang sampai Rp 3 miliar, saya tanya untuk apa? Itu uang jalan katanya. Kerja dinas satu hari di provinsi dibuat satu minggu. Mereka punya rumah di beberapa daerah seperti Bali, Manado. Mereka pakai uang rakyat untuk itu. 1 kepala suku di Manokwari, dulu pemberontak sekarang dia bilang tidak ada pilihan selain ikut Indonesia.

Kita harus kerja untuk bangun Papua supaya berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Sekarang ini lebih rendah karena pendidikan dan ini harus dikejar. Banyak orang tua yang mulai sadar tapi anak muda mungkin karena tergiur lebih maju, baik tapi mereka tidak tahu yang sebenarnya bagaimana. (red)

Sabtu, 05 April 2014

OPM Kacaukan Perbatasan RI-PNG

Penjaga perbatasan RI-PNG, red.
Jayapura - Aksi provokasi untuk menggagalkan pelaksanaan Pemilu telah dilakukan oleh kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) terhadap warga negara RI di Papua New Guinea (PNG) yang hari ini, Sabtu (5/4/2014), melakukan penclobosan. 

OPM melakukan aksi penembakan, pembakaran ban bekas, dan pengibaran bendera bintang kejora di titik Zero batas Tugu Perbatasan kedua negara di Wutung. Aksi tersebut terjadi pada pukul 05.30 WIT oleh sekitar 30 orang kelompok Mathias Wenda yang berujung pada kontak tembak.

Saat itu beberapa orang wartawan dari Jayapura akan melakukan perjalanan ke Vanimo (ibu kota Provinsi Sandoun, PNG) untuk meliput pelaksanaan Pemilu RI di negara tetangga tersebut.

Kapendam XVII/Cenderawasih, Letkol Arh Rikas Hidayatullah membenarkan terjadinya aksi tersebut yang disebutnya merupakan provokasi. 

"Kelompok GSP/B OPM berumlah 30 orang menurunkan Bendera Merah Putih di Pos Skouw Lintas Batas RI-PNG, kemudian mereka menaikkan bendera bintang kejora, membakar papan reklame," kata Rikas.

Kemudian pada pukul 09.30 WIT terjadi penembakan ke arah mercus uar atau tower perbatasan yang mengenai kaca tower tersebut. 

"Serpihan kaca melukai Serma Tugino, anggota unit intel Kodim 1701/JYP di bagian kepala, Kapolres kena serpihan kaca, anggota polisi tertembak di kaki," ungkap dia.

Sampai saat ini masih terjadi kontak tembak antara TNI/Polri dan kelompok tersebut. Kelompok GSP/B OPM tersebut diperkirakan membawa 6 pucuk senjata campuran. 

Upaya kelompok ini untuk memprovokasi dan mengacaukan keamanan kerap dilakukan di sekitar perbatasan RI-PNG. 

"Mereka mengeluarkan tembakan yang mengenai kaca tower dan selanjutnya melarikan diri ke wilayah PNG," Rikas menjelaskan. (red)