PAPUA INDAH DAN DAMAI

Menyuarakan kedamaian dan keindahan bumi Papua untuk bangsa ini...

Tanahku Papua

Papua, Indonesia kecilku...

Jayapura City

...ibukota Papua yang memikat di malam hari...

Festival Lembah Baliem

budaya luhur suku Dani, Lani, dan Yali sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan

Cenderawasih

burung khas Papua sebagai 'bird of Paradise'

Tawa Papua

potret dari keceriaan anak-anak di Papua

Raja Ampat

gugusan pulau yang indah dan exotic

Halaman

Kamis, 30 Oktober 2014

MENTERI PEREMPUAN PERTAMA DARI PAPUA

Yohana Susana Yembise

Jakarta - Yohana Susana Yembise benar-benar menjadi sosok wanita yang membuat bangga Bumi Cenderawasih. Dia menjadi menteri perempuan pertama dari Papua. Yohana Susana Yembise ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Kementerian Wanita dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK. Yohana Yembise dikenal sebagai wanita bergelar Profesor pertama dari tanah Papua.

"(Nomor) Tiga puluh, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Pemberdayaan Anak, Yohana Yembise, guru besar pertama, profesor pertama dari Papua. Aktif dalam perlindungan anak," kata Presiden Jokowi di halaman Istana Negara, Jl Medan Merdeka Utara, Minggu (26/10/2014).

Tidak salah Presiden Jokowi memilih Yohana sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Yohana berhasil menciptakan sebuah gebrakan dengan menciptakan pendekatan lintas kebudayaan dalam pendidikan anak di Papua.

Selain itu Yohana juga berhasil memecahkan stigma kultural masyarakat tentang perempuan yang telah menikah. Dengan menjadi seorang guru besar perempuan asal Papua pertama, dia membuktikan pemikiran wanita harus selalu tunduk kepada sang suami tidak bisa selalu diberlakukan.

Wanita yang lahir di Manokwari, Papua Barat pada 1 Oktober 1958 ini juga sempat menorehkan catatan membanggakan sebelum diangkat sebagai Menteri di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. November dua tahun silam, dia diangkat menjadi Professor wanita dari Papua yang pertama.

Tahun 1985, dirinya melanjutkan pendidikan Sarjana Bahasa Inggris, Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Cenderawasih.

Guru Besar Universitas Cenderawasih ini menjadi Diplomat Applied Linguistic TEFL (Dip. TEFL) dari Regional English Language Centre (RELC), SEAMEO Singapura, pada 1992.

Dia kemudian menyelesaikan program gelar Master di Departemen Pendidikan Simon Fraser University di Kanada pada tahun 1994. Pada tahun 2001, kemudian melanjutkan pendidikan Doktoral di Universitas Newcastle. Dia dan memperoleh gelar Ph.D pada tahun 2006. 

Semoga amanah dan jabatan yang telah dipercayakan sebagai Menteri untuk membangun bangsa dan negara Indonesia ini, dapat pula memberikan kebanggaan bagi tanah Papua. (red)

Selasa, 28 Oktober 2014

SEJARAH PEMUDA PAPUA DALAM SUMPAH PEMUDA

1414481734157569953
Sumber: Inilah.com
Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia dan sekaligus merupakan suatu pengakuan dari pemuda-pemudi Indonesia untuk persatuan. Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat guna menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia. 

Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928, yang merupakan hasil rumusan dari Kerapatan Pemuda-Pemudi atau Kongres Pemuda II Indonesia. 

Kongres Pemuda II dilaksanakan oleh organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggotakan pelajar dari seluruh wilayah Indonesia. Kongres tersebut dihadiri oleh berbagai wakil organisasi kepemudaan, seperti: Jong Java, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, pengamat dari pemuda Tionghoa, dsb. 

Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, dicetuskanlah isi "Sumpah Pemuda", sebagaimana tercantum pada prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda, sbb:

Pertama: 
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. 

Kedua: 
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. 

Ketiga: 
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. 


Pemuda Papua pada Sumpah Pemuda 


Di antara peserta Kongres Pemuda II tersebut terdapat dua pemuda dari Tanah Papua. Mereka adalah Poreu Ohee dan Aitai Karubaba. Keduanya diutus oleh Sultan Tidore, karena waktu itu Tanah Papua masuk dalam Kesultanan Tidore, sehingga perwakilan Papua itu menjadi bagian dari kumpulan Yong Ambon. 

Poreu Ohee yang memiliki nama lengkap Abner Poreu Ohee merupakan tokoh adat dari Tobati-Enggros, Waena. Poreu Ohee memiliki seorang anak yang bernama Ramses Ohee, yang merupakan pelaku sejarah Pepera 1969. Ramses dikenal sebagai seorang Ondoafi dari Waena, yang saat ini menjadi Ketua Barisan Merah Putih. 

Sedangkan Aitai Karubaba adalah pemuda Papua yang berasal dari Kampung Ambai, Serui. Makam Aitai Karubaba berada di Kampung Rondepi, Pulau Urfarari, Distrik Kepulauan Ambai. 

Fakta sejarah ini membuktikan sejak sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, di dalam dada orang Papua sudah bersemi Nasionalisme ke-Indonesiaan bersama putra-putri Indonesia dari daerah lainnya. 

Terungkapnya kehadiran kedua pemuda Papua tersebut dalam Sumpah Pemuda menunjukkan keinginan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia sudah muncul sejak pelaksanaan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. 

Untuk itulah kita hendaknya menghargai jasa kedua tokoh Papua ini yang telah bersusah payah dan turut serta menghadiri Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak sejarah berdirinya Indonesia. (red)

Senin, 27 Oktober 2014

KECAMAN AKTIVIS PAPUA ATAS PENANGKAPAN RAMBO

Kelompok Kriminal Bersenjata (foto: ilustrasi)

Jayapura - Polda Papua menangkap tokoh dari kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang selama ini melakukan aksi kekerasannya di Papua. 

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas (Karo Penmas) Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli mengatakan, ada enam orang yang ditangkap. Mereka merupakan orang-orang yang selama ini dicari oleh kepolisian.

Menurut dia penangkapan tersebut dilakukan atas sejumlah kasus kejahatan seperti beberapa penembakan dan penyerangan di Papua.

Kabid Humas Polda Papua Kombes Sulistyo Pudjo kemarin dalam siaran persnya mengatakan penangkapan dilakukan pada hari Minggu (26/10/2014) pukul 13.00 WIT. 

Dalam penangkapan tersebut dibekuk enam orang KKB oleh timsus Polda bekerja sama dengan Polres Jayawijaya , Brimob Polda, dan TNI. Pudjo mengatakan keenam orang tersebut dibekuk di Hotel Boulevard Jalan Patimura Wamena. Dua diantara adalah Pinus Wonda alias Rambo Wonda (27) dan Derius Wanimbo alias Rambo Tolikara (30).

Kecaman Aktivis Papua

Tidak hanya mengganggu masyarakat dan pemerintah setempat, aktivitas kelompok kriminal bersenjata ini juga sering mendapat kecaman dari aktivis Papua lainnya. Di masa lalu, dalam Kongres pembentukan WPNA, tanggal 15 Juli 2004 di Wewak, Papua New Guinea yang dihadiri oleh Jacob Rumbiak, Edison Waromi, Stepanus Paigy, Kaliele, Sonny Mosso, Theryanus Yoku, Herman Wanggai dan Jonah Wenda, mengkritik pola perjuangan OPM faksi militer yang sering disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata tersebut. 

Dalam pertemuan tersebut Jacob Rumbiak mengutuk keras aksi faksi militer, karena selain kriminal mereka dianggap melanggar Hak Asasi Manusia, sehingga rentan dianggap sebagai organisasi teror. 

Secara terpisah tokoh muda yang juga digadang-gadang sebagai Ketua KNPB, Victor Yeimo, juga mengkritik pola perjuangan kelompok kriminal tersebut. Ia menyampaikan bahwa anggota kriminal bersenjata layak dijadikan DPO karena perjuangannya berdasarkan kekerasan. 

"Mereka itu (KKB, red) layak dijadikan DPO, karena sering melanggar HAM", ungkap Yeimo.

Aktivitas kelompok kriminal yang sering disebut kelompok faksi militer OPM ini memilih kekerasan sebagai ciri dari aktivitasnya. Pemerasan terhadap masyarakat sekitar dan pemerintah daerah tentu sangat jauh dari harapan masyarakat dan Pemda yang selalu ingin mensejahterakan masyarakat. 

Dengan adanya kelompok kriminal ini tentu aktivitas pembangunan di wilayah terhambat. Hal ini mengakibatkan masyarakat sekitar yang kerap mengalami kekerasan dan intimidasi oleh kelompok ini menginginkan aksi mereka ditumpas habis. 

Karo Penmas Mabes Polri, Brigjen Pol Boy Rafli mengatakan pula bahwa penangkapan terhadap dua “Rambo” tersebut merupakan hasil informasi dari masyakarat.

"Penangkapan tersebut atas informasi dari masyarakat," kata Boy Rafli di Mabes Polri, Minggu (26/10) kemarin. 

Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) tersebut hanya kelompok kriminal yang menggunakan senjata demi kepentingan kelompoknya. Tidak peduli kemana moncong senjata itu mereka todongkan, bisa kepada aparat keamanan atau masyarakat Papua sendiri. (red)

RAMBO DITANGKAP TIMSUS POLDA

Kelompok Kriminal Ditangkap (foto: ilustrasi)
Tim Khusus Kepolisian Daerah Papua menangkap Enggangrangkok Wonda alias Pinus Wonda alias Rambo Wonda (27) dan Derius Wanimbo alias Rambo Tolikara (30), Minggu (26/10/2014) siang. Mereka adalah buron dan merupakan pimpinan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) untuk dugaan kasus penembakan di Kabupaten Puncak Jaya, Papua. 

Dua orang yang sama-sama dipanggil “Rambo” ini ditangkap bersama dengan 4 anak buahnya saat sedang berada di Hotel Boulevard Jalan Patimura, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, sekitar pukul 13.00 WIT. Aparat Keamanan juga sempat menembak betis kanan Rambo Wonda karena sempat berusaha melarikan diri dalam usaha penangkapan tersebut. 

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat, Kepolisian Daerah Papua, Kombes Pol Sulistyo Pudjo mengatakan, duo Rambo ditangkap saat hendak keluar dari Hotel Boulevard. Dari penangkapan tersebut, menurut Pudjo, disita pula dua magasen, 29 butir amunisi kaliber 7,62 milimeter, sebuah pisau, cap 6 buah, serta uang Rp 220.000.

"Mereka ada yang berupaya kabur, tetapi bisa dilumpuhkan dengan tembakan di betis kanan. Setelah mendapat perawatan di UGD RSUD Wamena, mereka langsung dibawa ke Mapolres Jayawijaya", ungkap Pudjo.

Sepak Terjang Duo Rambo Papua

Masih menurut Kombes Pol Sulistyo Pudjo, Rambo Tolikara merupakan pimpinan Kelompok Kriminal Bersenjata di daerah Balingga hingga Tolikara. Ia terkait dengan aksi penyerangan warga sipil dan aparat kemanan di wilayah Kabupaten Tolikara.

Sedangkan Rambo Wonda adalah tangan kanan kelompok pimpinan Puron Wonda, salah satu kelompok kriminal bersenjata yang sangat aktif saat ini. Kelompok ini sering disebut sebagai kelompok Pilia, karena bermarkas di Pilia, Lany Jaya. 

Rambo Wonda, yang juga merupakan saudara dari Puron Wonda ini terlibat dalam kasus penembakan yang menewaskan 3 anggota Brimob pada 24 Oktober 2011, penyerangan dan perampasan senjata anggota Brimob pada 28 Januari 2011, penyerangan Mapolsek Pirime yang menewaskan 3 anggota Polsek Pirime pada 28 Januari 2012, dan terakhir menyerang dan merampas senjata Pratu Laode Alwi, anggota TNI 753/AVT Pos Illu pada 8 Maret 2012.

Informasi Masyarakat

Terkait penangkapan ini, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas (Karo Penmas) Mabes Polri, Brigjen Pol Boy Rafli Anwar mengatakan bahwa penangkapan tersebut atas informasi dari masyarakat.

"Penangkapan tersebut atas informasi dari masyarakat, mereka merupakan orang-orang yang selama ini dicari oleh kepolisian." kata Boy Rafli di Mabes Polri, Minggu (26/10) kemarin. 

Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol Sulistyo Pudjo menyampaikan ungkapan terima kasih kepada masyarakat sehingga Rambo Wonda dan Rambo Tolikara dapat tertangkap.

"Polri dan TNI sangat berterima kasih yang setinggi-tingginya kepada masyarakat, baik yang berada di Wamena, Tolikara, Puncak Jaya dan Lani Jaya yang tetap setia memberikan informasi dan bantuan kepada Polri dan TNI sehingga Rambo Wonda dan Rambo Tolikara dapat tertangkap," tambah Pudjo.

Aktivitas kelompok kriminal bersenjata, terutama kelompok Puron Wonda yang merupakan pimpinan dari Rambo Wonda, memang kerap membuat resah masyarakat dan pemerintah setempat. Terkait aktivitas kelompok Puron Wenda di Lanny Jaya ini, Bupati Lanny Jaya, Befa Jigibalom mengatakan bahwa kelompok kriminal tersebut sering mengintimidasi dan memeras masyarakat yang ada di sekitar kampung di Lanny Jaya. (red)


VONIS DUA JURNALIS ASING

Dua jurnalis asing dinyatakan bersalah oleh pengadilan

Jayapura - Pengadilan Negeri Jayapura akhirnya menjatuhkan vonis 2 tahun 15 hari penjara kepada dua jurnalis asing asal Prancis, Thomas Charles Dandois (40) dan Marie Valentine Burrot (39). Keduanya dinyatakan terbukti bersalah karena telah melanggar Undang-Undang Keimigrasian.

Selain dijatuhi hukuman penjara, dalam sidang yang berlangsung Jumat, 24 Oktober 2014, dua jurnalis Arte TV itu juga dibebankan untuk membayar denda sebesar Rp2 juta. Dengan ketentuan, apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan satu bulan.

Dalam amar putusannya, Majelis Hakim yang diketuai Martinus Bala menyatakan, kedua jurnalis asing itu terbukti secara sah melanggar Pasal 122 huruf a Undang-undang No 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. 

"Dari sejumlah bukti dan serangkaian keterangan saksi, keduanya terbukti menyalahi UU Keimigrasian dalam beraktivitas di Indonesia," ujar majelis.

Kedua terdakwa lanjut hakim, terbukti bersalah melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian izin tinggal yang diberikan pemerintah Indonesia. 

Dalam pertimbangannya, majelis hakim mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan kedua terdakwa. Yang meringankan, keduanya mengakui perbuatannya dan meminta maaf, terdakwa juga berlaku sopan selama persidangan.

Sedangkan yang memberatkan, keduanya bisa berpotensi memberitakan hal-hal buruk tentang Indonesia.

Langgar Undang-Undang

Sebelumnya Kapolda Papua, Irjen Pol Yotje Mende pernah menjelaskan, pada dasarnya kedua orang itu memang sudah melanggar Undang-Undang Keimigrasian. Mereka memiliki visa turis, namun justru melakukan kegiatan jurnalis.

Jenderal Bintang Dua itu mengaku kedua orang yang mengaku jurnalis tersebut meliput pemberitaan dan melakukan peliputan tanpa izin pemerintah.

"Jadi memang sudah melanggar hukum. Dia memiliki visa turis, tapi tak miliki visa jurnalis. Jadi kegiatan yang dilakukan itu kami curigai sebagai mata-mata," kata dia.

Thomas dan Valentine

Sementara itu, Thomas dan Valentine yang didampingi kuasa hukum mereka terus tersenyum kepada awak media. Hal tersebut sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya, di mana Thomas dan Valentine enggan berkomentar bahkan bersapa gurau dengan awak media.

Keduanya mengatakan, tidak ingin mengulangi kesalahan (yang sama, red) lagi dan ingin secepatnya kembali ke Paris dan berkumpul dengan keluarganya masing-masing. 

“Saya mau pulang ke Paris dengan (untuk) anak-anak saya,” ucap Thomas dalam bahasa Indonesia. 
 ”I would like to go home as soon as posible,” timpal Valentine. (red)

Selasa, 07 Oktober 2014

ASING DI PAPUA

gambar: ilustrasi
DETEKSI-Dua wartawan berkebangsaan Perancis, Thomas Dandois (40), dan Valentine Bourrat (29) ditangkap oleh aparat Polda Papua pada 06 Agustus 2014 di Wamena. Bahkan kantor Imigrasi Jayapura sudah menetapkan status tersangka kepada keduanya atas dugaan pelanggaran dokumen keimigrasian.

Spekulasi terkait keterlibatan terhadap OPM-pun mencuat. Sebagaimana dikutip dari Antara, indikasi keterlibatan kedua wartawan Perancis, yakni Thomas Charles Dandois dan Louise Marie Valentina Bourrat yang bekerja di Arte TV Perancis itu terungkap dari hasil liputannya yang terekam dalam handycam yang mereka bawa. Wakil Kapolda Papua, Brigjen Pol Paulus Waterpauw, mengatakan dari hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap kedua wartawan yang saat ini ditahan Imigrasi Jayapura, keduanya melakukan peliputan dan bertemu sejumlah kelompok bersenjata, baik yang ada di Jayapura maupun di Wamena. Bahkan, kata Brigjen Waterpauw, kedua jurnalis asing itu juga bertemu dengan mantan narapidana kasus makar, yakni Forkorus Yoboisembut yang juga menjabat Ketua Dewan Adat Papua (DAP). Forkorus dihukum terkait kasus makar tahun 2011 dan baru menghirup kebebasan 21 Juli 2014 lalu.

Pasca penangkapan dan penahanan, reaksi terus bermunculan. Kelompok pembela wartawan, Reporters Without Borders, RWP telah mengecam penangkapan dua orang jurnalis tersebut dan menuntut agar mereka segera dibebaskan. Menurut RWP, Thomas Dandois sebagai wartawan memiliki “integritas dan kejujuran”. Dia juga pernah ditahan di Nigeria pada 2007 karena meliput aktivitas kelompok separatis Tuareg. Dandois dikenal pula sebagai wartawan yang pernah meliput di wilayah konflik seperti Somalia, Burma, Kosovo, Darfur, dan jalur Gaza.

Sementara itu anggota Dewan Pers, Nezar Patria mengatakan, pihaknya telah dihubungi Kedutaan Prancis di Jakarta dan RWP yang menyatakan bahwa dua orang itu adalah wartawan. 

“Kita juga sudah mengirim surat untuk meneruskan pemberitahuan dari Kedutaan Prancis, RWP dan juga dari kantor mereka bekerja, yang menyatakan keduanya adalah jurnalis,” kata Nezar Patria sebagaimana dikutip dari BBC.

Dewan Pers, menurut Nezar, juga menuntut agar mereka segera dibebaskan. “Dan kalau ada pelanggaran UU Keimigrasian, sebaiknya dia dipulangkan dan tidak ditahan,” katanya. Sejumlah kasus kekerasan kembali muncul di Papua belakangan ini, yang korbannya meliputi pihak sipil, anggota polisi dan TNI serta kelompok separatis bersenjata.

Kasus penangkapan wartawan asing di Papua juga bukan kali pertama. Dalam catatan Kementerian Luar Negeri, sampai tahun 2012, ada 35 jurnalis asing yang telah diberikan akses ke provinsi Papua sepanjang tahun 2011-2012. Namun para jurnalis asing ini memahami bahwa tidak semua jurnalis bisa melakukan liputan di Papua. Bahkan tercatat, 7 (tujuh) jurnalis asing telah dideportasi dari Papua karena dilarang melakukan kerja jurnalistik. Terakhir, jurnalis ABC harus masuk ke Papua dengan cara menyamar sebagai turis. Selain itu, sebagai catatan lain adalah kasus ditangkapnya dan dideportasinya dua wartawan TV A Mano Perancis, Baudoin Koenlag dan Carole Helene Lorthtois pada 25 Mei 2010, ketika sedang meliput aksi unjuk rasa aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di depan Gedung DPR Papua. Bahkan dalam pemeriksaan diketahui bahwa kedua jurnalis asing tersebut mengambil gambar unjuk rasa, untuk keperluan pembuatan film tentang Indonesia yang berjudul Indonesia Hari Esok. Penangkapan dua wartawan tersebut dilakukan karena terbukti melakukan pelanggaran izin bekerja. Kepala Imigrasi Jayapura Robert Silitonga menyatakan, bahwa dari hasil pemeriksaan sementara terungkap, yang memiliki izin peliputan hanya Baudoin Koeniag. dengan wilayah liputannya antara lain Aceh. Jakarta, Bali. Gorontalo, dan Sorong, sedangkan Jayapura tidak termasuk daerah liputannya.

Modus masuknya para jurnalis asing ke Papua adalah dengan mengunakan visa kunjungan sebagai turis. Bahkan berdasarkan pada pemeriksaan diketahui sebagian di antara mereka yang dedeportasi diketahui mengunakan paspor ganda.

Beragam fakta tersebut, mengungkapkan indikasi kuat keterlibatan pihak asing dalam mendukung OPM. Meskipun dengan dalih peliputan dan kerja-kerja jurnalistik, namun fakta bahwa hasil kerja jurnalistik mereka seringkali menjadi alat propaganda dan kampanye atas kemerdekaan Papua di dunia internasional.

Mencermati hal tersebut, maka keberadaan jurnalis asing di Papua, harus tetap dibatasi demi stabilitas keamanan nasional, termasuk dalam rangka menghindari terjadinya beragam bentuk dan modus spionase asing. Selain itu, keberadaan jurnalis asing, (1)Keberadaan jurnalis asing sangat berpotensi menjadi bagian dari propaganda kelompok OPM di tingkat internasional, (2) Tidak ada yang bisa menjamin keselamatan dan keamanan jurnalis asing di Papua terkait dengan kegiatan jurnalismenya di Papua.

Dengan demikian, kita patut mewaspadai adanya kepentingan tertentu di balik kegiatan jurnalistik yang dilakukan oleh para jurnalis asing yang dapat merugikan pemerintah RI. Tidak menutup kemungkinan, mereka melakukan pelanggaran ijin jurnalistik tersebut, untuk menjual isu-isu Papua di forum dunia internasional, yang secara tidak langsung bisa dikatakan ikut mendukung propaganda OPM.

Sumber: deteksi.co

PAHLAWAN NASIONAL PAPUA (1)

Frans Kaisiepo
Frans Kaisiepo (Pahlawan Nasional, red)
Pahlawan Nasional Republik Indonesia, Frans Kaisiepo, lahir di Wardo, Biak, Papua pada 10 Oktober 1921. Beberapa jasa kenegaraan Gubernur Papua ke-4 ini termasuk pengusulan nama Irian, berarti daerah panas dalam bahasa daerah Biak, untuk menyebut wilayah paling timur Republik Indonesia, serta partisipasinya dalam Konferensi Malino 1946 yang membahas pembentukan Republik Indonesia Serikat. 

Sejak muda, Kaisiepo telah dikenal sebagai aktivis gerakan kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah Irian (sekarang kembali bernama Papua). Ketika pemerintah Belanda menangkap Silas Papare, pendiri Partai Kemerdekaan Irian Indonesia (PKII), bersama beberapa aktivis pro-Republik setelah mengibarkan bendera Merah-Putih pada 17 Agustus 1947, Kaisiepo dan Johan Ariks memutuskan untuk meneruskan perjuangan rekan mereka menyatukan wilayah Irian ke pangkuan Indonesia. 

Terkenal dengan sikap anti-Belanda yang kuat, Kaisiepo bahkan meminta anaknya, Markus Kaisiepo, untuk mengganti papan nama sekolah yang saat itu bertuliskan Papua Bestuurschool menjadi Irian Bestuurschool. Bagi mantan anggota Hakim Tertinggi DPA ini, nama Irian mencerminkan sikap hidup dan semangat persatuan untuk menolak kehadiran Belanda yang berusaha berkuasa kembali pasca-Proklamasi Kemerdekaan RI. Sejarah juga mencatat tiga hari menjelang Proklamasi, tepatnya 14 Agustus 1945, Kaisiepo dan beberapa rekan seperjuangannya memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kampung Harapan Jayapura. Beberapa hari sesudah Proklamasi, atau pada 31 Agustus 1945, Kaisiepo dan rekan-rekannya melaksanakan upacara dengan pengibaran bendera Merah Putih dan nyanyian lagu kebangsaan. 

Pada 10 Juli 1946, pahlawan Trikora ini mendirikan Partai Indonesia Merdeka yang diketuai Lukas Rumkofen. Pada bulan yang sama, Kaisiepo juga berangkat ke Sulawesi Utara sebagai salah satu anggota Delegasi RI dalam Konferensi Malino 1946, dan tercatat sebagai satu-satunya putra Irian yang hadir dalam salah satu perundingan paling penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia tersebut. Dalam Konferensi yang sama juga nama Irian diusulkan Frans Kaisiepo untuk mengganti nama Papua sekaligus menyatakan penolakan atas skenario usulan pembentukan Negara Indonesia Timur.

Selang dua tahun setelah Konferensi, gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pecah di Biak, dengan Kaisiepo tercatat sebagai salah satu penggerak insiden tersebut. Setahun berikutnya, atau pada 1949, putra Irian sejati ini menolak penunjukan dirinya sebagai wakil Belanda untuk wilayah Nugini dalam Konferensi Meja Bundar di Nederland, Belanda berdasar alasan tidak mau didikte oleh Belanda. Atas penolakan ini, Kaisiepo bahkan rela disekap sebagai tahanan politik mulai 1954 - 1961.

Pasca masa penahanan, Kaisiepo mendirikan Partai Politik Irian pada 1971 yang bertujuan utama menggabungkan wilayah Nugini sebagai bagian NKRI. Pada masa-masa inilah salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah RI pecah dengan dimulainya TRIKORA (Tiga Komando Rakyat) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Kaisiepo juga sering melindungi para sukarelawan yang diam-diam melakukan infiltrasi ke wilayah Irian Barat tersebut.

Capaian utama TRIKORA adalah Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 yang memaksa Belanda menyerahkan kekuasaan politis atas Irian Barat ke tangan Indonesia. Melalui pengawasan PBB, pemerintah RI berhak atas pengembangan wilayah Irian mulai 1963 - 1969 sebelum rakyat Papua memutuskan untuk terus bergabung atau lepas dari tangan Indonesia. 

Pada 1964 bisa disebut sebagai tahun paling kritis bagi Irian. Gubernur pertama Irian, Elieser Jon Bonay, mulai menjabat pada 1963. Pada awal 1964, Bonay membuat usulan ke PBB yang menyatakan separasi dan kemerdekaan bagi Irian Barat sekaligus menyatakan mundur dari jabatan gubernur dan digantikan Frans Kaisiepo. Sayangnya, pengunduran diri tanpa penggantian posisi ini justru memicu kekecewaan Bonay dan membuatnya memilih keluar dari kampung halaman untuk bergabung, dan selanjutnya menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh, dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Belanda.

Kaisiepo sendiri terus berjuang menyatukaan Irian dengan RI sesuai impiannya sejak awal. Dan akhirnya pada 1969 impian ini terbayar dengan masuknya Irian sebagai propinsi paling muda di Indonesia saat itu. Pada 1972, Kaisiepo dilantik sebagai salah satu anggota MPR RI sebelum akhirnya menjabat anggota Hakim Tertinggi Dewan Pertimbangan Agung sejak 1973 hingga 1979.

Pada 10 April 1979, salah satu putra terbaik Irian, Frans Kaisiepo, meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cenderawasih di Biak. Di samping anugerah Trikora, nama Kaisiepo juga diabadikan menjadi bandar udara di Biak. Selain itu juga nama Frans Kaisiepo digunakan sebagai nama kapal perang korvet kelas Sigma milik TNI AL, yaitu KRI Frans Kaisiepo.

Berdasar Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993, nama Frans Kaisiepo selanjutnya dikenang sebagai satu dari deretan Pahlawan Nasional Indonesia disertai penganugrahan Bintang Maha Putera Adi Pradana Kelas Dua.

Putri Frans Kaisiepo, Suzanah Kaisiepo, berharap sikap dan jiwa kepahlawanan ayahnya bisa diteladani oleh para generasi muda Papua dalam mengisi pembangunan mengingat kuatnya keyakinan sang ayah pada semboyan 'Bersatu kita teguh; bercerai kita runtuh'. Semangat kepahlawanan Frans Kasisepo selalu dikenang dan diteruskan oleh generasi muda di Papua hingga saat ini. (red)

PENDIDIKAN
Sekolah Rakyat pada 1928–1931
LVVS Korido pada 1931–1934
Sekolah Guru Normalis di Manokwari pada 1934–1936
Bestuur Course pada March – August 1945
Bestuur School / Pamong Praja pada 1952–1954

KARIR
Pahlawan Nasional
Pendiri, Partai Indonesia Merdeka, 1946
Anggota Delegasi RI, Konferensi Malino, Sulawesi Utara, 1946
Anggota, Kepemimpinan Hakim Tertinggi, Dewan Pertimbangan Agung RI, 1972
Gubernur Papua, 1964-1973

PENGHARGAAN
Gelar Pahlawan Nasional Indonesia