|
Tokoh Papua, Nicholas Messet, mantan Wamenlu OPM, red |
Jayapura - Tak dapat dipungkiri di tanah Papua terjadi banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di era Orde Baru. Tapi kalau ‘hari gini’ masih saja ada tuduhan dari pejabat luar negeri yang menyebut masih banyak pelanggaran HAM di bumi Cenderawasih, tentu akan jadi persoalan besar bagi tokoh Papua sekali pun.
Adalah Nicholas Messet, Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang marah besar terhadap pidato Perdana Menteri (PM) Vanuatu, Moana Carcasses Kalosil pada Sidang Tahunan Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB) di Jenewa Swiss pada 4 Maret 2014 lalu.
Saat itu, Moana menyebut di Papua hingga kini masih banyak terjadi pelanggaran HAM berat. Sebagai tokoh Papua, Nicholas Messet merasa tersengat kupingnya mendengar pidato asal ucap itu.
“Pidato PM Vanuatu tersebut tidak berdasar, serta mengandung unsur politis terselubung,” tegasnya dalam keterangan pers di Hotel Kaisar, Jakarta Selatan, Rabu (26/3/2014).
Nickolas Messet juga menyebut pernyataan PM Vanuatu itu adalah bohong besar. Sebab bukti foto yang beredar di internet yang dikeluarkan oleh PM Vanuatu pada sidang di Jenewa itu adalah foto tahun 1970-an, tapi direkayasa seolah-olah itu kondisi terkini di Papua.
“Dia bilang terjadi pelanggaran HAM setiap hari di Papua. Padahal itu foto-foto lama tahun 1970-an,” sesalnya.
Setelah era reformasi bergulir, ditandai dengan tumbangnya rezim otoriter Orde Baru tahun 1998, tanah Papua jauh lebih baik. Menurut Nicholas Messet, saat ini Papua sedang mengalami pertumbuhan ekonomi dan perkembangan infrastruktur yang baik, termasuk untuk bidang penegakan hukum.
“Memang kita tidak menyangkal, benar ada pelanggaran HAM di tahun-tahun 1970-an dari Aceh sampai Papua. Ada pelanggaran HAM besar-besaran di saat orde baru memerintah. Tapi sejak tanggal 21 Mei 1998, turunnya Soeharto, pelanggaran HAM sudah tidak ada lagi” tegasnya.
Nicholas Messet mengingatkan, PM Vanuatu adalah perdana menteri dari sebuah negeri kecil yang seharusnya tidak sembrono menuduh.
Berikut Ini tanya jawab dengan mantan Wakil Menlu OPM Nicholas Messet, terkait Pidato PM Vanuatu di Jenewa, 4 Maret 2014:
Apa latar belakang PM Vanuatu sehingga dia melontarkan tuduhan masih banyak pelanggaran HAM berat di Papua sampai sekarang?
PM Vanuatu itu orang Perancis tapi sudah naturalisasi, umurnya 51 tahun lahir 27 januari 1963. Saya kerja di Vanuatu jadi pilot dia umur 27 tahun. Mungkin dia sekarang banyak terima pesan/sms dari masyarakat Papua terkait pernyataannya bahwa banyak pelanggaran HAM di Papua sampai hari ini.
Sebetulnya tidak ada pelanggaran HAM seperti yang dituduhkan dia. 19 Juni 2013 saat rapat MSG di New Caledonia saya bertemu beliau dan katakan pada dia malah saya tunjuk mukanya, “Kamu jangan bicara Papua, bicara Vanuatu saja, kewajiban kamu itu rakyat Vanuatu, bukan perdana menteri orang Papua. Papua itu milik Indonesia dan sekarang ini Papua tidak bisa dipisahkan dari Indonesia."
Mengenai dia bilang ada pelanggaran HAM setiap hari di Papua, saya bilang kalau ada pelanggaran HAM, saya, Michael, Frans mungkin sudah tidak ada lagi disini, kita sudah dibunuh.
Dan kau lihat baik foto-foto yang dikasih di internet kepada saudara perdana mentri, itu foto tahun 70-an, memang kita tidak menyangkal, bahwa benar ada pelanggaran HAM tahun tahun itu, bukan hanya Papua di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Papua ada pelanggaran HAM besar-besaran di saat Orde Baru memerintah.
Tapi sejak tanggal 21 Mei 1998 turunnya Soeharto dan diambil alih wakil presiden Habibie maka reformasi mulai bergulir, demokratisasi mulai bergulir bahkan ada perubahan besar sekali di Republik Indonesia ini sampai sekarang ini. Pada 9 April 2014 kita mengadakan pemilu yang demokratis. Jadi kalau ada PM dari negara kecil yang bilang ada pelanggaran HAM itu sama sekali bohong, bohong belaka yang mau mengungkit-ungkit masalah lalu.
Apa fakta yang Anda lihat di Papua sekarang?
Sebenarnya republik sudah aman dan tenteram bagi kita dan orang Papua sudah mulai sadar bahwa perjuangan mereka itu bukan merdeka, tapi lebih mementingkan hak-hak adat mereka atau hak-hak leluhur mereka, tanah, kekayaan alam itu harus dibagi rata kepada orang Papua supaya mereka rasa mereka adalah bagian dari republik ini.
Kalau tidak, selalu ada gembar-gembor di sini ada pelanggaran HAM atau pembunuhan massal atau genocide dipakai oleh orang-orang macam negara Vanuatu, satu-satunya negara di dunia ini yang mau membantu Papua merdeka dan Vanuatu itu merdeka tanggal 31 Juni 1980, jadi baru 34 tahun, masih muda dibanding negara kita yang sudah 69 tahun.
PM Vanuatu melihat masalah Papua harus diselesaikan tapi masalah Papua sudah diselesaikan sejak Pepera dilaksanakan tahun 1969 dan saya sendiri saksikan waktu duta besar Vanuatu, waktu saya kerja di Vanuatu, saya ke markas besar PBB , di dalam sidang keamanan, beliau mengatakan, inilah keputusan Dewan Keamanan tanggal 19 November 1969, nasib orang Papua atau waktu itu orang Irian diputuskan oleh Dewan Keamanan. Kalau orang Papua mau coba kembalikan masalah Pepera melalui Dewan keamanan PBB, itu imposible, tidak mungkin.
Dan sekarang PBB tidak mikir kasih merdekakan negara- negara kecil. Yang sekarang PBB pikirkan penyakit Aids, kekurangan makanan, Global Environtmen, semua itu yang dipikir. Bukan memerdekakan negara kecil.
Malah negara kecil mau gabung dengan negara besar karena perekonomian. Jadi kita orang Papua mau pikir merdeka, itu susah. Saya berjuang betul, dari umur 23 tahun saya sudah keluar dan saya warga negara Swedia sebelum saya kembali ke republik ini. Kawan saya Hasan Tiro almarhum, Gubernur Aceh sekarang, sama-sama kita di Swedia dan mereka dari GAM, kita dari OPM, sama-sama hidup di Swedia.
Nyatanya dia jadi gubernur Aceh, dan saya sama pak Frans kembali. Kita mau kembali untuk membangun republik ini, tidak melihat ada masa depan untuk Aceh merdeka atau Papua merdeka.
Dan kalau dilihat dari sejarah, Papua sudah masuk dari tahun 1827 sudah masuk Hindia Belanda. Kalau ada orang yang bilang, oh itu tidak, baru masuk tahun 1969, nggak, itu sejarah sudah buktikan bahwa tanggal 24 Agustus 1827, 100 tahun sebelum sumpah pemuda, Papua sudah masuk dalam republik ini.
Jadi kalau ada yang bilang Pepera itu belum selesai, anak-anak muda yang sekarang tidak belajar, pertanyaan saya kepada anak muda ini, kalau besok merdeka, mereka mau bikin apa, mau jadi apa.
Saya bilang pada mereka belajar baik jadi orang yang berguna bagi bangsa. Republik ini besar dari Sabang sampai Merauke, kamu bisa dipakai di mana saja. Di era globalisasi ini kamu bisa dipakai di Amerika asal pintar. Buktikan bahwa kamu orang Indonesia bisa dipakai di seluruh dunia, apakah kamu dari Papua, Ambon, Aceh, Jawa, Kalimantan, terserah.
Tapi jangan pikir untuk merdeka. Merdeka itu buat saya imposible. Saya ini berjuang sampai sudah tidak ada jalan keluar. Tuhan bilang kembali kepada akar. Asal saya itu Papua, sama-sama republik, republik yang besar. Karena kalau besok kita merdeka, Papua terpisah, kita mau pikir mau masuk mana, Asean atau G-20.
Sekarang negara-negara kecil di Pasifik pikir ke situ, Papua Nugini, Vanuatu, dulu mereka lihat Australia, sekarang ini mereka lihat ke Indonesia. Dan wartawan harus tahu bahwa Melanesia yang terdiri dari Papua Nugini, Solomon, Vanuatu, New Caledonia, Fiji. Lima (5) negara Melanesia ini, 3 negara yang sudah kita rangkul yaitu PNG, Fiji, tinggal Vanuatu negara kecil yang penduduknya hanya 250 ribu orang, itu seluruh penduduk Jayapura, Fiji paling 600 ribu orang, PNG 6 juta, Solomon 500 ribu orang, Kanaki 300 orang. Jadi kalau mau tahu penduduk Indonesia, Melanesia itu ada 5 provinsi. Papua, Ambon, NTT, NTB, semua rumpun Melanesia, semuanya 11,5 juta dibanding dengan cuma berapa juta di PNG, Solomon, Vanuatu, New Caledonia dan Fiji. Jadi kalau mau lihat kita di sini, rumpun Melanesia di Indonesia lebih banyak daripada negara-negara yang sudah merdeka itu.
Jadi saudara-saudara itu harus pikir bahwa saudara kita rumpun Melanesia meski orang Indonesia harus gabung dengan mereka, Di situ bisa lihat, Vanuatu sendiri tidak mau mengakui bahwa kita ini Indonesia. Kita ini Indonesia tapi rumpun Melanesia itu beda. Jadi saya pikir apa yang dikatakan oleh bapak PM Vanuatu di sidang HAM PBB di Jenewa, itu cerita lama, cerita lama yang mau membuka mata dunia. Tapi mata dunia sudah tidak bodoh, tidak duduk diam dengar saja.
Mereka tahu bahwa Papua sudah berubah dari dulu yang dibilang pembunuhan banyak sekarang tidak. Bahkan orang papua pikir untuk membangun supaya bisa sama dengan provinsi lain di Indonesia. Hanya sekarang ada sporadic anak-anak muda yang pikir harus merdeka. Mereka tidak tahu bahwa merdeka itu susah. Menjalankan satu pemerintahan, satu negara itu tidak mudah. Saya melihat sendiri kemerdekaan.
Apa pengalaman masa lalu Anda yang membentuk pola pikir seperti sekarang?
Saya tamat pilot tahun 1975 dari Australia dan saya bekerja di negara …itu susah sekali. Saya dipanggil PM Vanuatu yang pertama dan PM yang sekarang waktu itu baru 20an tahun saya sudah 40an tahun dan anak muda ini tanggal 31 Juni tahun lalu hadir di kemerdekaan Vanuatu bersama pak Frans, kita pergi bicara sama dia, saya bilang, PM saya ingin anda datang ke Indonesia ke Papua.
Dia bilang, “wah kalau saya ke sana, nanti saya ditangkap,” saya jawab, anda seorang PM bagaimana mau ditangkap dah ditahan oleh Republik Indonesia? Datang dan lihat sendiri supaya bicara fakta jangan dengar dari orang bahwa Papua begini, begitu. Lihat sendiri apa yang terjadi di Papua tapi dia tidak berani, itu tanggal 31 Juni 2013. Di rumah kediaman Gubernur Jenderal, kami hadir di resepsi di sana, di Vanuatu, saya bicara langsung dengan PM Vanuatu disaksikan wakil PM dan menlu.
Kepentingannya apa yang Anda lihat, Vanuatu bicara seperti itu?
Kalau menurut saya sejak saya di sana, saya lihat negara ini mau dapat nama juga bahwa dia bisa memerdekaan negara lain, negara Melanesia, itu saja. Artinya mau memerdekakan Papua supaya dia ada nama di dunia.
Dunia akan bilang wah negara kecil yang 250 ribu orang bisa mengalahkan negara besar yang 250 juta orang, memerdekaan satu propinsi dari negara yanag berpenduduk 250 juta orang, itu saja keinginannya.
Dan dia bilang itu statemen dari almarhum PM. bahwa Vanuatu tidak merdeka atau Melanesia tidak merdeka bila negara Melanesia lain termasuk Papua, Papua barat dan Kanaki belum merdeka. Tapi dia tidak tahu bahwa Melanesia di Indonesia termasuk Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB. Statemen itu keliru. Saya berani pergi bicara sama PM Vanuatu, saya tidak takut, saya hanya takut kepada Tuhan, saya akan berbicara kebenaran.
Ada saudara kita di Vanuatu, Andi, kawan saya sekolah gabungan tahun 1966, dia manager Black Brothers, band yang terkenal tahun 60an, melarikan diri tahun 1979 ke Belanda dan terus ke Vanuatu dan menetap di sana.
Saya lari keluar ke Swedia dan mereka ditahan. Mereka ditahan oleh kelompok Lini dimasukkan dalam penjara dideportasi ke Australia. Sekarang black brothers semua kembali ke Italia … Kepala West Papua National Congres for liberation (WPNCL).
Itu ketuanya pak Andi Ayammi Seba tapi wakil ketuanya dr Jono. Mereka dua selalu kasih masukan kepada perdana menteri. Dan PM ini PM yang muda dan selalu menentang okupasi tanda kutip Indonesia pada Papua. Karena begitu banyak jadi mereka itu. Saya pernah bicara dan Tripartit di New Zealand mengenai nasib orang Papua. Mereka itu benar-benar menentang pemerintah Indonesia menduduki tanah Papua.
|
PM Vanuatu |
WPNCL ini terdiri dari banyak faksi?
Oh faksi banyak faksi. Perjuangan Papua ini terdiri dari banyak faksi di Belanda ada beberapa, di Swedia dipimpin bapak Jacob. Saya bersama pak Jacob dideportasi dari Papua Nugini tahun 1979, kita 5 orang yang pergi. WPNCL ini banyak didengar karena kerjasama dengan Vanuatu. PNG, Fiji dan Solomon tidak terpengaruh.
Malah kemarin waktu PM Vanuatu bikin komentar di Jenewa, PM Solomon bilang masalah Papua sudah selesai. Papua Issue tidak ada lagi. Papua adalah bagian dari Indonesia, itu saja. Jadi dia menentang apa yang dikatakan PM Vanuatu. Lebih baik mereka yang bicara, PM Solomon pernah datang ke sini berkunjung tahun lalu, bulan Juni bertemu presiden. Sekarang dia memihak kepada kita, dulu memang anti, keras sekali.
WPNCL punya massa juga?
Iya punya massa tapi waktu MSG di New Caledonia menentukan bahwa dari 5 negara Melanesia harus kirim mentri luar negerinya untuk lihat Papua. Bulan januari baru baru, mereka datang tapi Vanuaatu boikot tidak mau. Menlu PNG datang, Fiji datang, Solomon datang, Wakil Menlu Kanaki datang.
Vanuatu tidak kirim dan mereka pergi. Saya dan pak Frans antar sampai di Papua dan mereka lihat sendiri dan bilang pembangunan di Papua beda, jauh sekali dengan negara-negara kecil di Melanesia macam di Solomon, Vanuatu, Kanaki. Bahkan Fiji mengakui bahwa kemajuan di Papua lebih besar dari negara-negara yang sudah merdeka di Pasifik Selatan.Mereka datang tanggal 10 – 11 Januari ini, menginap dan pergi.
Saya dan pak Frans yang dulu menentang Indonesia, bagaimana perubahan besar dan itu dikonfirmasi oleh Menlu Fiji yang juga ketua delegasi menlu yang datang berkunjung ke sini. Kita diundang oleh beliau untuk kasih lecture di Universitas Fiji dan mahasiswa semua baru dapat keterangan yang baik, bagaimana Papua sekarang ini, karena banyak simpang siur pemberitaan tentang Papua. Jadi Papua kacau.
Tapi setelah menlu-menlu PNG, Fiji, Solomon, New Caledonia melihat sendiri mereka bilang Papua maju pesat. Dan kita mau pemerintah Vanuatu kirim menlunya atau anggota parlemennya datang untuk melihat sendiri pembangunan di Papua dan pulang kasih tahu sama PMnya jangan hanya omong karena ada sms/internet yang ada foto tahun 70-an, itu semua omong kosong.
Saya bilang, perdana menteri kau lihat foto itu baik-baik. Foto itu sama saja setiap hari. Kau mesti lihat benar foto itu. Saya pernah buat propaganda macam itu, dulu. Jadi jangan taken for granted. Kalau setiap hari tentara Indonesia bunuh 10 orang berarti 10 tahun, semua orang Papua dibunuh, berarti tidak ada orang Papua. Itu tidak masuk akal buat saya. Untuk itu kirim mentri atau datang sendiri lihat Papua.
Tapi sebesar apa dia berteriak seperti yang saya bilang, 250 ribu tinggal kasih duit aja akan diam. Dia perlu makanan dan bantuan. Saya bilang kalau ada kekurangan apa-apa, negara saya bisa bantu kamu. Jangan bicara soal Papua. Papua punya penduduk 2,5 juta kamu 250 ribu. Jangan bikin Papua jadi isu komoditas untuk kamu. Dia mau dibilang negara kecil hebat bisa kalahkan negara besar di Asia.
Dan mereka pakai Papua jadi komoditas di Vanuatu, isu Papua merdeka untuk jadi anggota parlemen.Tapi tugas saya dan masyarakat Papua bilang ke mereka bahwa masalah Papua bukan masalah kamu. Masalah Papua adalah masalah Indonesia. Masalah Vanuatu bagaiamana kamu bisa dapat kerja dan pembangunan negeri kamu.
Kalau tidak kamu tidak tahu akan ke mana dan jadi macam apa. Solomon sekarang negara gagal dan diduduki oleh Australia, tahun lalu baru dibicarakan kembali bagaimana Solomon kembali berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Saya lihat Vanuatu harus hati-hati jangan jadi negara gagal. 1-2 bulan yang lalu ada mosi tidak percaya pada PM sekarang, anak muda kelahiran Perancis, bapaknya orang Perancis, mamanya orang Haiti pindah dari Perancis ke Vanuatu karena bapaknya beli plantasi di sana, plantasi coconut.
Jadi anak ini dididik dari bapaknya yang jual kopra, sekarang anaknya jadi PM dan bilang mau lepaskan Papua. Lebih baik dia urus kelapa di sana daripada urus Papua. Itu saran saya kepada dia.
Kalau dari perekonomian, Anda lihat Papua sudah cukup bagus?
Belum cukup karena kembali pada otonomi khusus, kembali pada masyarakat Papua sendiri. Pemimpin Papua sendiri yang harus sadar bagaimana mempergunakan uang itu, uang yang begitu banyak.
Uang itu dipergunakan gubernur, walikota, bupati, DPR, sementara masyarakat bawah tidak merasakan apa itu otsus. Contoh, di kampung saya saja orang di kampung bilang, waktu Jakarta msih pegang duit, kita bisa makan ampas-ampas yang jatuh. Sekarang ini orang Papua pegang sendiri sampai ampas di meja mereka jilat dan semuaa habis. Jadi tidak terbagikan kepada rakyat di bawah.
Sedih saya. Mereka kata, Papua tipu Papua. Bupati hanya janji bangun jalan tapi untuk ke Jakarta satu bupati bisa bawa uang sampai Rp 3 miliar, saya tanya untuk apa? Itu uang jalan katanya. Kerja dinas satu hari di provinsi dibuat satu minggu. Mereka punya rumah di beberapa daerah seperti Bali, Manado. Mereka pakai uang rakyat untuk itu. 1 kepala suku di Manokwari, dulu pemberontak sekarang dia bilang tidak ada pilihan selain ikut Indonesia.
Kita harus kerja untuk bangun Papua supaya berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Sekarang ini lebih rendah karena pendidikan dan ini harus dikejar. Banyak orang tua yang mulai sadar tapi anak muda mungkin karena tergiur lebih maju, baik tapi mereka tidak tahu yang sebenarnya bagaimana. (red)