51 Tahun Papua Kembali ke Pangkuan NKRI |
Sengketa Masalah Irian Barat
Pada tahun 1760 Belanda mengakui hak Sultan Tidore atas wilayah Papua. Selanjutnya pengakuan tersebut diulangi lagi pada tahun 1779. Begitu pula Pemerintahan Inggris dibawah Sir Thomas Stamford Raffles dalam: The Convension of 1814, memperkuat pengakuan hak Sultan Tidore tersebut. Pada tahun 1824 wilayah Papua dimasukkan sebagai bagian Karesidenan Ternate, dan dalam tahun 1861 dengan resmi atas persetujuan Sultan Tidore, wilayah Papua dimasukkan sebagai salah satu wilayah jajahan Belanda: Nederlands Indie. Dalam tahun 1948 nama Nederlands Indie oleh Belanda dalam Undang-undang Dasarnya, diubah menjadi Indonesia. Begitu pula dalam laporan tahunan Belanda pada tahun 1948 dan 1949 kepada PBB tentang Indonesia, Belanda dengan resmi di muka dunia (PBB) menyebut Papua sebagai bagian dari Indonesia (Pemda, 1972).
Awal mula sengketa Papua antara rakyat Indonesia dengan Pemerintah Belanda adalah dari diingkarinya fakta-fakta sejarah yang diciptakan oleh Pemerintah Belanda. Pengingkaran Pemerintah Belanda atas fakta-fakta sejarah ini nampak di dalam perundingan Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Meskipun pasal 1 ayat 1 Piagam Penyerahan Kedaulatan pada tanggal 2 Nopember 1949 berbunyi: “Kerajaan Nederland menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat lagi dan tidak dapat dicabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat”.
Namun Pemerintah Belanda masih menyisipkan dalam pasal 2 ayat (f) kalimat sebagai berikut: “Mengingat kebulatan hati pihak-pihak yang bersangkutan hendak mempertahankan azas supaya semua perselisihan yang mungkin ternyata kelak akan timbul diselesaikan dengan jalan patut dan rukun, maka status quo Karesidenan Irian (Nieuw Guinea) tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, masalah kedudukan kenegaraan Irian akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Nederland”. Perutusan Indonesia bersedia menerima clausule tersebut atas dasar kepercayaan akan itikad yang baik dan kejujuran sama-sama bangsa yang Merdeka (Soemowardojo, 1969).
Namun, rencana Pemerintah Belanda untuk tetap berkuasa di irian Barat makin jelas dengan memasukkan Irian Barat sebagai wilayah Kerajaannya dalam Undang-Undang Dasar mereka, tanggal 19 Pebruari 1952. Atas reaksi dan desakan Pemerintah Republik Indonesia untuk membuka perundingan kembali, maka pada tanggal 24 Juli 1953 Menteri Luar Negeri Belanda menjawab, bahwa sebelum dapat diadakan perundingan dengan Pemerintah Republik Indonesia Belanda akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pemerintah Australia. Akhirnya pada tanggal 14 April 1954 Pemerintah Belanda menyatakan terang-terangan tidak mau berunding lagi.
Karena ternyata perjuangannya tidak berhasil, maka Pemerintah Republik Indonesia menempuh jalan perjuangan melalui forum PBB. Permintaan perutusan Pemerintah RI kepada Sekjen PBB untuk memasukkan masalah Irian Barat sebagai salah satu acara dalam Sidang Umum tahun 1954, meskipun sudah diterima oleh Dewan Politik, akhirnya gagal, karena tidak memenuhi quorum 2/3 jumlah suara. Dalam tahun 1955 usaha ini diulang dan berhasil pada tanggal 15 Desember 1955 diputuskan sebuah resolusi Sidang Umum PBB sebagai berikut:
1. Setelah meninjau acara yang berkepala “Irian Barat”.
2. Mengharapkan bahwa soal itu akan diselesaikan secara damai.
3. Memperhatikan pernyataan bersama dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Nederland pada tanggal 7 Desember 1955, menyatakan harapan, bahwa perundingan yang dimaksud di dalam pernyataan bersama tersebut di atas akan dapat berhasil.
Di samping usaha melalui PBB diintensifkan diadakan pula usaha-usaha pendekatan secara langsung terutama dengan negara-negara Asia-Afrika. Di dalam Konferensi Kolombo, tanggal 2 Mei 1954 di Kandy telah tercetus suatu pernyataan bersama mengenai kolonialisme, antara lain dalam pasal 5 terdapat kalimat: ”Para Perdana Menteri membicarakan soal kolonialisme, yang mereka sesalkan masih ada di berbagai-bagai bagian dunia. Mereka berpendapat, bahwa terus adanya keadaan seperti itu merupakan pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia dan merupakan ancaman bagi perdamaian dunia”.
Kemudian Konferensi Panca Negara: Birma, Sailan (Srilanka), India, Pakistan dan Indonesia pada tanggal 29 Desember 1954 di Bogor dalam komunike bersamanya tentang Irian Barat sudah lebih maju. Para Perdana Menteri kelima Negara dalam memperhatikan masalah Irian Barat menyokong pendirian Indonesia dan mengharapkan sungguh Pemerintah Nederland akan segera membuka kembali perundingan dengan Republik Indonesia guna melaksanakan kewajibannya berdasarkan persetujuan-persetujuan yang dengan hikmat telah diadakan oleh mereka dengan Indonesia. Akhirnya maka dalam Konferensi Bandung atau Konferensi negara-negara Asia-Afrika yang diselenggarakan pada tanggal 18 sampai 24 April 1955 dan diikuti oleh 29 negara, benar dan adilnya tuntutan Rakyat Indonesia diakui, dan ke-29 Negara Asia-Afrika tersebut bersepakat membantu / menyokong pendirian Indonesia tentang Irian Barat.
Di lain pihak Pemerintah Belanda saat itu memperkuat diri. Pasukan-pasukan baru didatangkan lewat kutub utara karena RPA, Pakistan dan negara-negara Asia lainnya melarang pendaratan pesawat-pesawat Belanda yang mengangkut pasukan atau alat-alat perlengkapan perang. Keadaan makin tegang. Patroli-patroli oleh kedua belah pihak dilancarkan di daerah-daerah perbatasan perairan, yang kadang-kadang mengakibatkan terjadinya clash fisik. Pada tanggal 15 Januari 1962 pertempuran terjadi di laut Arafuru, yang mengakibatkan gugurnya Komodor Laut (Laksamana Muda Anumerta) Jos Soedarso. Peristiwa ini merupakan peristiwa nasional yang kita kenal dengan nama “Peristiwa Aru”. Kemarahan Rakyat Indonesia memuncak. Seluruh potensi Angkatan Bersenjata dan ribuan sukarelawan/sukarelawati disiapkan. Keadaan benar-benar mulai gawat, Bahaya perang terbuka sudah hampir tidak terelakkan. Negara-negara besar mulai menaruh perhatian. Amerika serikat mengirimkan pesawat-pesawat pengintainya.
New York Agreement
Dalam keadaan kritis ini muncullah seorang diplomat Amerika, Duta Besar di India pada waktu itu, Elsworth Bunker dengan “Bunker Proposals”. Pemerintah RI bersedia menerima usul-usul tersebut sebagai dasar penyelesaian pertikaian, dengan perkataan lain sebagai landasan penyerahan Kedaulatan atas wilayah Irian Barat dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia. Sebuah ultimatum Pemerintah RI kepada Pemerintah Belanda memaksa Belanda menerima perundingan atas dasar “Bunker Proposals” tersebut. Perundingan tersebut menghasilkan sebuah persetujuan “Persetujuan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Nederland Mengenai Irian Barat”. Persetujuan ini ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 1962 di New York dan dicatat (taken note) oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusinya tanggal 21 September 1962 No. 1752 (XVII). Inilah yang biasa kita kenal dengan nama “Persetujuan New York” atau “New York Agreement” (Pemda, 1972). Persetujuan tersebut terdiri atas 29 pasal dan mengatur 13 macam hal :
1. Pasal I tentang Pengesahan Persetujuan dan Resolusi Majelis Umum PBB.
2. Pasal II tentang Penyerahan Pemerintahan.
3. Pasal III s/d VIII tentang Pemerintahan PBB
4. Pasal IX s/d XI tentang Taraf Pertama Pemerintahan PBB
5. Pasal XII s/d XIII tentang Taraf Kedua Pemerintahan PBB
6. Pasal XIV s/d/ XXI tentang Pemerintahan Indonesia dan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
7. Pasal XXII s/d/ XXIII tentang Hak-hak Penduduk
8. Pasal XXIV tentang Soal-solal Keuangan
9. Pasal XXV tentang Perjanjian-perjanjian dan persetujuan-persetujuan terdahulu
10. Pasal XXVI tentang Kelonggaran dan Kekebalan PBB terhadap milik, uang, modal dan para pegawai PBB
11. Pasal XXVII tentang Ratifikasi
12. Pasal XXVIII tentang Waktu mulai berlakunya persetujuan
13. Pasal XXIX tentang: Naskah Resmi Persetujuan.
Pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani pula Memorandum Pengertian Bersama mengenai Penghentian Permusuhan yang akan berlaku mulai tanggal 18 Agustus 1962, dan Memorandum-memorandum lainnya mengenai soal-soal keuangan, surat-surat perjalanan, pembukaan kembali hubungan diplomatik antara Belanda dan Indonesia serta soal-soal detail lainnya.
Persetujuan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda tentang Nieuw Guinea Barat (Irian Barat), dipahami oleh kedua negara bahwa:
1. Memperhatikan persetujuan itu,
2. Mengakui peranan yang diserahkan kepada Sekretaris Jenderal di dalam persetujuan itu,
3. Mengusahakan kepada Sekretaris Jenderal untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya didalam Persetujuan.
Jelaslah bahwa Persetujuan tersebut merupakan :
1. Sebuah Persetujuan bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda mengenai Irian Barat.
2. Persetujuan disetujui dan dicatat oleh Sidang umum sebagai suatu dokumen
3. Dalam pelaksanaan Persetujuan tersebut PBB memaklumi peranan dan memberi kuasa kepada Sekretaris Jenderal PBB untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya dalam Persetujuan tersebut
Bahwa Persetujuan sekarang ini merupakan persetujuan tentang Irian Barat yang lebih kuat, bahkan mengatasi segala persetujuan-persetujuan yang terdahulu.
Penyerahan Pemerintahan seperti dimaksud dalam pasal II Persetujuan tersebut dilaksanakan sesuai dengan Aide Memoire U Thant kepada Indonesia mengenai Bendera dan Penyerahan Kuasa tertanggal 31 Juli 1962, yang kemudian diamandemen dengan Aide Memoire tanggal 15 Agustus1962 yang berbunyi:
1. Kekuasaan Pemerintah Nederland atas wilayah Irian Barat akan dihentikan pada saat Wakil Khusus Sekretaris Jenderal mulai memangku jabatannya. Pada hari itu juga bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa akan dikibarkan.
2. Sejak tanggal hari itu juga penarikan dan pemulangan pasukan-pasukan bersenjata Nederland akan dimulai di bawah pengawasan Wakil Khusus Sekretaris Jenderal dan akan diselesaikan secepat mungkin.
3. Pada hari penyerahan wilayah Irian Barat kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, bendera Nederland akan dikibarkan berdampingan dengan bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan akan berkibar sampai tanggal 31 Desember 1962.
4. Penyerahan kekuasaan kepada Indonesia akan dilaksanakan secepat mungkin sesudah tanggal 1 Mei 1963.
Maka pada 1 Oktober 1962, Wakil Gubernur Jenderal Belanda H. Veldkamp menyerahkan kekuasaannya atas Papua Barat kepada sebuah badan PBB yang khusus dibentuk untuk mengurusi masalah Papua bernama UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Pada acara penyerahan itu, H. Veldkamp mengatakan: “Mulai saat ini, akibat persetujuan Indonesia dan akibat persetujuan Internasional yang berhubungan dengan itu, maka tanah dan bangsa Nieuw Guenea Barat telah ditempatkan di bawah kepemerintahan yang baru : Penguasa sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedaulatan Netherland atas tanah ini telah berakhir. Tibalah suatu jangka waktu yang baru, jangka mana berlangsung sampai pada saat pertanggunganjawab atas pemerintahan diserahkan kepada Indonesia sepenuhnya” (Sihombing, 2006)
Pemerintah UNTEA atas wilayah Irian Barat dilaksanakan berdasarkan Persetujuan tersebut dalam pasal VII s/d/ XIII. Dalam taraf pertama Pemerintah UNTEA mengatur penggantian pejabat-pejabat tertinggi Nederland dengan pejabat-pejabat bukan Belanda dan bukan Indonesia. Di samping itu sesuai dengan pasal X pemerintahan UNTEA berkewajiban mengadakan penerangan-penerangan secara meluas tentang persetujuan tersebut beserta akan dilaksanakannya penyerahan Pemerintahan kepada Indonesia dan akan dilaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat selambat-lambatnya pada akhir tahun 1969. Kepada penguasa UNTEA diberikan pula wewenang untuk mengeluarkan perundang-undangan yang dipandang perlu dengan bermusyawarah dengan Dewan-dewan Perwakilan yang ada sesuai dengan pasal IX Persetujuan tersebut.
Dalam taraf kedua Penguasa UNTEA diberi kebijaksanaan untuk menyerahkan Pemerintahan seluruhnya atau sebagian kepada Indonesia. Wewenang penguasa UNTEA akan berakhir pada saat penyerahan Kekuasaan Pemerintahan sepenuhnya kepada Indonesia (pasal XI). Pasukan-pasukan keamanan PBB akan diganti dengan Pasukan Keamanan Indonesia (Pasal XIII).
Pada umumnya Pemerintahan UNTEA melanjutkan Organisasi Pemerintahan dari zaman Pemerintahan Belanda, hanya dengan penggantian pejabat-pejabat dan nama-nama Dinas serta Urusan. Berangsur-angsur pegawai-pegawai Belanda meletakkan jabatannya dan meninggalkan Irian Barat. Dan berangsur-angsur pula tempat mereka diisi dengan pegawai-pegawai Republik Indonesia. Pegawai-pegawai Bangsa Belanda yang terakhir meninggalkan Irian Barat dalam bulan Maret 1963 dan pada tanggal 1 Mei 1963 Pemerintahan sepenuhnya diserahkan oleh Penguasa UNTEA kepada Republik Indonesia (Soemowardojo, 1969)
PEPERA
Pembantu khusus Menlu untuk urusan Irian Barat Sudjarwo Tjondronegoro SH sebagai Ketua Kelompok Pelaksanaan Bidang Persetujuan New York telah mengeluarkan sebuah memorandum. Memorandum tersebut adalah merupakan suatu kebijaksanaan dan mencakup seluruh rencana kerja pelaksanaan PEPERA. Dalam memorandum itu telah ditetapkan bahwa pelaksanaan PEPERA di Irian Barat akan dilakukan dengan cara yang demokratis. Cara tersebut telah mendapatkan pengertian yang baik dari Pemerintah Kerajaan Belanda dan Sekretaris Jenderal PBB U Thant serta utusannya Duta Besar Fernando Ortiz Sanz.
Memorandum ini meliputi, pelaksanaan itu akan dilakukan di delapan (8) Kabupaten dan setiap kabupaten akan dibentuk sebuah badan atau Dewan Musyawarah Rakyat (Dewan Musyawarah Kabupaten) yang akan merupakan perwakilan dari seluruh kabupaten itu, yang lebih besar dari pada DPRD Kabupaten yang hanya berjumlah 25 orang (untuk setiap kabupaten). Besarnya “Dewan Musyawarah PEPERA” itu disesuaikan dengan banyaknya jumlah unsur perwakilan yang mencakup seluruh masyarakat Irian Barat.
Unsur tersebut terdiri dari :
1. Unsur daerah : yaitu wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat daerahnya masing-masing misalnya per KPS, per Distrik dan lain-lain.
2. Unsur Parpol/Ormas: yaitu wakil-wakil yang dipilih oleh partai atau Organisasinya masing-masing.
3. Unsur Tradisionil : yaitu Kepala-kepala Suku/Adat yang berpengaruh dan merupakan pemimpin-pemimpin masyarakat Irian Barat secara tradisionil.
Pelaksanaan Pepera dilaksanakan dengan sistem perwakilan terangkum dalam sebuah buku yang dipublikasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang disebutkan bahwa, “under arrangements made by the Government of the Republic of Indonesia and approved by the local West lrianese councils, consultative assemblies were set up, with a total membership of 1025, which, between 14 July and 2 August 1969, pronounced themselves, without dissent, in favour of the territory remaining.” Selanjutnya pelaksanaan Pepera disampaikan kepada Sekretaris Jenderal PBB dan berdasarkan hal tersebut Sekjen PBB membuat laporan untuk disetujui oleh Majelis Umurn PBB.
Besarnya perwakilan dalam Dewan Musyawarah PEPERA itu akan meliputi 750 orang pendududk diwakili oleh 1 (satu) orang wakil dari 800.000 jiwa penduduk seluruh Irian Barat. Dengan demikian wakil keseluruhan dari Rakyat Irian Barat akan melebihi jumlah 1.000 orang dan ini adalah suatu jumlah perwakilan yang cukup besar. Tetapi karena jumlah penduduk setiap kabupaten ini tidak sama maka jumlah perwakilan setiap kabupaten akan berkisar 75 orang wakil untuk kabupaten yang jumlah penduduknya lebih sedikit dan 175 orang wakil untuk jumlah penduduk yang lebih padat. Maka berdasarkan perhitungan itu jumlah anggota Dewan Musyawarah PEPERA per kabupaten akan perperinci sebagai berikut :
Jayapura : Jumlah penduduk 81.246 – jumlah wakil 110
Teluk Cenderawasih : Jumlah penduduk 93.230 – jumlah wakil 130
Manokwari : Jumlah penduduk 53.290 – jumlah wakil 75
Sorong : Jumlah penduduk 86.840 – jumlah wakil 110
Fak-fak : Jumlah penduduk 38.917 – jumlah wakil 75
Merauke : Jumlah penduduk 141.373 – jumlah wakil 175
Paniai : Jumlah penduduk 156.000 – jumlah wakil 175
Peg.Jayawijaya : Jumlah penduduk 165.000 – jumlah wakil 175
Dengan demikian maka jumlah Perwakilan adalah 1.025 orang
Sedangkan prosentase dan besarnya keanggotaan dari setiap unsur dalam Dewan musyawarah PEPERA itu tiap kabupaten diserahkan kepada penentuan oleh masing-masing daerah kabupaten. Cara pemungutan PEPERA di dalam DMP (Dewan Musyawarah Pepera) itu dilakukan dengan cara musyawarah antara Pemerintah dengan Dewan tersebut. Yang diambil adalah kesepakatan dalam musyawarah tanpa ada pemungutan suara secara perorangan, dengan mengajukan pertanyaan sesuai dengan pasal XVII Persetujuan New York, yaitu : tetap di dalam RI atau Tidak (artinya, melepaskan hubungan)
Musyawarah-musyawarah di 8 Kabupaten ini akan dihadiri dan disaksikan oleh Duta Besar Fernando Ortiz Sanz sebagai Wakil dari Sekretaris Jenderal PBB U Thant. Hasil keseluruhannya akan merupakan hasil “PEPERA” seluruh rakyat Irian Barat, hasil mana nantinya akan diberitahukan kepada DPRD Propinsi Irian Barat di Jayapura. Didalam DMP itu nanti maka anggota-anggota DPRD Kabupaten yang memenuhi syarat persetujuan New York, yaitu mereka yang telah merupakan penduduk/ rakyat Irian Barat sejak 15 Agustus 1962, akan merupakan inti (kern) dari pada DMP secara otomatis tanpa dipilih kembali oleh rakyat (Soemowardojo, 1969).
Dewan Musyawarah PEPERA yang mewakili penduduk seluruhnya. Jadi kalau Dewan Musyawarah PEPERA suatu Kabupaten memutuskan tetap dalam RI, maka putusan itu dihitung sebagai putusan seluruh jumlah penduduk kabupaten. Dengan demikian nanti pada akhirnya (setelah musyawarah) semua “Dewan Musyawarah PEPERA” Kabupaten selesai dapat dihitung berapa jumlah penduduk yang ingin tetap dalam RI, berapa tidak. Proses Musyawarah ini disaksikan oleh Missi Ortiz Sanz. Sesuai dengan Persetujuan New York tugas Missi Ortis Sanz adalah “to assist, advices and participate in the aranggements” dari pada pelaksanaan PEPERA yang diadakan oleh Pemerintah RI atas tanggung jawab Pemerintah RI.
Missi Ortiz Sanz dalam memberikan advices itu adalah untuk membantu supaya Pemerintah RI dapat melakukan tugasnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan “Persetujuan New York” dan dengan “participation” diartikan “to be present” atau menyaksikan pelaksanaan tersebut. Tetapi yang berwenang memutuskan ialah Pemerintah RI yang memegang sole responsibility, tanggung jawab tunggal dalam pelaksanaan itu. Dalam proses pelaksanaan PEPERA Missi Ortiz Sanz dapat ikut hadir atau menyaksikan, baik dalam konsultasi dengan DPRD kabupaten, maupun dalam proses pembentukan “Dewan Musyawarah PEPERA” dan akhirnya dalam Musyawarah PEPERA itu sendiri.
Secara berturut-turut musyawarah PEPERA akan dilaksanakan menurut jenjang waktu yang sudah ditetapkan, yaitu:
Merauke : tanggal 14 Juli 1969
Jayawijaya : tanggal 16 Juli 1969
Nabire : tanggal 19 Juli 1969
Fak-fak : tanggal 23 Juli 1969
Sorong : tanggal 26 Juli 1969
Manokwari : tanggal 29 Juli 1969
Biak : tanggal 31 Juli 1969
Jayapura : tanggal 2 Agustus 1969
Musyawarah PEPERA di tiap kabupaten dihadiri oleh :
1. Ketua dan para anggota DMP
2. Menteri Dalam Negeri / Ketua Perutusan Pemerintah Pusat.
3. Menteri Luar Negeri
4. Utusan Sekretaris Jenderal PBB dipimpin oleh Duta Besar Ortiz Sanz
5. Beberapa Duta-Besar Negara-negara sahabat.
6. Wartawan-wartawan dalam dan luar Negeri.
7. Para Peninjau.
Sesuai dengan pasal XVIII-c Persetujuan maka DMP-DMP harus memusyawarahkan dan mennyusun jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Pemerintah Republik Indonesia:
1. Apakah mereka tetap bersatu dengan Indonesia (whether they wish to remain with Indonesia).
2. Apakah mereka ingin melepaskan diri dari hubungan dengan Indonesia (whether they wish to sever their ties Indonesia).
Jawaban DMP atas nama rakyat yang diwakilinya adalah sah dan final.
Di dalam tiap musyawarah Duta Besar Ortiz Sanz atas nama Sekretaris Jenderal PBB menyampaikan pesannya, yang mana pesan tersebut diberikan sebelum pembicaraan dalam musyawarah dimulai, sebagai berikut: “Para anggota Dewan Musyawarah, atas nama Tuan U Thant, Sekretaris Jenderal PBB, saya ingin mengingatkan saudara-saudara akan hal-hal sebagai berikut: Pada kesempatan yang hikmad ini oleh Pemerintah Republik Indonesia akan diajukan kepada Saudara-Saudara suatu pertanyaan. Pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan penting, menyangkut masa depan Irian Barat, Saudara-Saudara sendiri, dan keturunan yang akan datang. Dan dalam menjawab pertanyaan ini saudara tidak hanya akan berbicara bagi Saudara sendiri, tetapi juga bagi seluruh rakyat Saudara. Jawaban ini harus jelas dan harus mewujudkan keinginan penduduk yang sebenarnya.Jangan ragu-ragu mengatakan yang benar dan setialah pada keinginan rakyat Saudara. Terima kasih, Saudara Ketua” (Soemowardojo, 1969).
HASIL PEPERA
Hasil PEPERA lengkap dengan segala kegiatan-kegiatan sebelumnya pada tanggal 8 Agustus 1969 secara resmi telah dilaporkan kepada Presiden oleh Ketua Pelaksana Pusat / Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud, yang secara marathon telah menghadiri semua sidang musyawarah PEPERA di Irian Barat. Oleh Presiden hasil PEPERA beserta tindak lanjut, yang berupa rencana pembangunan dilaporkan kepada seluruh rakyat Indonesia dalam pidato Kenegaraan Presiden tanggal 16 Agustus 1969 di muka Sidang Paripurna DPR-GR tentang PEPERA.
DPR-GR sebagai lembaga legislatif Pusat tidak pula melepaskan diri dari kegiatan-kegiatan eksekutif dalam pelaksanaan dan penyelesaian PEPERA di Irian Barat. Setelah mendengar pidato Kenegaraan Presiden dan laporan tim DPR-GR, maka dalam rapat pleno ke-10 pada 18 September 1969, DPR-GR memutuskan dalam Keputusan No.2/DPR-GR/I/1969-’70 bahwa hasil PEPERA adalah sah dan Irian Barat tetap berada dalam wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian hasil PEPERA tersebut telah sah secara nasional (Pemda, 1972)
Selanjutnya hasil PEPERA dibawa ke Sidang Majelis Umum PBB yang ke-24 oleh Utusan Republik Indonesia, yang terdiri dari: Adam Malik, Sudjarwo Tjondronegoro S.H, A. Sani, Dr. Roeslan Abdulgani, dan lain-lain. Penyelesaian Hasil PEPERA di Sidang Majelis Umum PBB dilakukan melalui 3 tahap, yaitu:
1. Penyiapan Laporan Sekretaris Jenderal
2. Penyiapan Laporan kepada Sidang Majelis Umum
3. Tanggapan Sidang Majelis Umum dan Penyelesaian Resolusi-Resolusi.
Delegasi Indonesia kemudian diperkuat dengan datangnya 3 orang tokoh dari Irian Barat, yaitu: Frans Kaisiepo (Gubernur Irian Barat), Dirk Ajamisaba (Ketua DPRD-GR), dan Lucas Jouwe (anggota DPR-GR asal Irian Barat).
Pada tanggal 13 Nopember 1969 dilaksanakan Sidang Majelis Umum PBB yang dipimpin Ketua Sidang Nona Brooks dari Liberia. Ketua Sidang mempersilahkan Ketua Delegasi Indonesia dan Belanda mengucapkan pidatonya. Pokok pembicaraan kedua delegasi adalah sekitar usul rencana Resolusi Sidang Majelis Umum tersebut. Di samping itu Adam Malik menguraikan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dan rencana pembangunan daerah Irian Barat selanjutnya.
Delegasi Belanda, Luns menyatakan pendirian Pemerintahnya sebagai co-sponsor usul rencana Resolusi tersebut dan pendiriannya terhadap hasil PEPERA. Luns menanggapi kritik yang disampaikan Ortiz Sanz tentang cara-cara musyawarah yang dianggapnya tidak sesuai dengan ‘international practice’, tetapi hanya ‘Indonesian practise’, serta adanya kritik-kritik di negaranya adalah benar. Namun, walaupun demikian Pemerintah Belanda bersedia untuk mengakui dan mentaati hasil PEPERA tersebut sesuai pasal 21 ayat 2 Persetujuan 1962. Oleh karenanya Luns berpendapat bahwa tidak akan ada gunanya untuk mempersoalkan lebih lanjut tentang cara pelaksanaan PEPERA atau hasilnya yang telah dicapai. Luns menyatakan bahwa lebih baik untuk melihat ke depan bagaimana Indonesia dan Belanda akan bekerja sama guna membantu pembangunan di Irian Barat.
Akhirnya Sidang dilanjutkan kembali pada 19 Nopember 1969 yang akan menentukan secara final pertikaian antara Indonesia dan Belanda mengenai masalah Irian Barat. Sidang ditetapkan dilakukan hanya satu hari saja dan dibagi dalam dua kali sidang, yaitu pagi dan petang. Dengan didahului oleh perdebatan dan rapat yang alot, pada akhirnya kemenangan terhadap usul tersebut tidak diragukan lagi. Sidang Majelis Umum PBB menghasilkan usul resolusi dengan perbandingan suara Setuju: 84 negara, Tidak setuju: 0, dan Blanko: 30.
Akhirnya Majelis Umum PBB mengesahkan hasil PEPERA dengan mengeluarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 tanggal 19 Nopember 1969. Resolusi itu sekaligus mengakhiri perdebatan panjang tentang status politik wilayah Papua. Artinya, keberadaan Irian Barat adalah final sebagai bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia. Dalam resolusi tersebut disebutkan bahwa, “Takes note of the report of the Secretary General and acknowledges with appreciation the fulfilment by the Secretary General and his representative of the tasks entrusted to them under the Agreement of 15 August 1962 between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands concerning West New Guinea (United Nations, 1979). Dunia Internasional pun secara mutlak menerima PEPERA ditandai dengan tidak ada satupun negara yang menolak. Dalam konteks tersebut di atas resolusi yang dikeluarkan oleh PBB untuk mengakui hasil PEPERA harus dianggap sebagai dokumen yang menentukan bahwa hasil PEPERA diterima dengan baik dan sebagai suatu hal yang final.
Delegasi Indonesia menyambut pukulan palu penutup Sidang dengan rasa terharu, lega, bersyukur, dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perjuangan pembebasan Irian Barat, yang berarti perwujudan dari persatuan dan kesatuan wilayah NKRI, seperti yang diamanatkan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945, yang telah berlangsung selama 20 tahun dengan segala pengorbanan telah selesai.
Bagi penduduk Irian Barat sendiri mulailah dengan lembaran baru dalam sejarahnya, suatu lembaran hidup dalam alam kemerdekaan, yang membuka kemungkinan-kemungkinan cemerlang di masa depan, yang harus diisi dengan program dan pelaksanaan pembangunan.